RUU Kehutanan Mangkrak 15 Tahun: Desakan Percepatan Pembahasan Demi Lindungi Hak Masyarakat Adat
RUU Kehutanan Mangkrak 15 Tahun: Desakan Percepatan Pembahasan Demi Lindungi Hak Masyarakat Adat
Penegakan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan menjadi sorotan utama dalamDiskursus mengenai revisi Undang-Undang (UU) Kehutanan kembali mencuat ke permukaan. Forest Watch Indonesia (FWI) mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kehutanan yang telah lama tertunda. Penundaan selama 15 tahun dianggap merugikan masyarakat adat yang hak-haknya seringkali terabaikan dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI, menyoroti bahwa UU Kehutanan yang berlaku saat ini masih mewarisi semangat kolonialisme, memberikan klaim berlebihan kepada negara atas kawasan hutan. Menurutnya, undang-undang tersebut memberikan keleluasaan yang tidak semestinya kepada negara atas tanah yang telah dikelola oleh masyarakat, terutama masyarakat adat. Ketidakmampuan masyarakat untuk membuktikan kepemilikan tanah seringkali berujung pada klaim sepihak oleh negara, yang kemudian menjadikan tanah tersebut sebagai kawasan hutan negara berdasarkan UU Kehutanan.
"Klaim negara atas kawasan hutan itu over. Begini prosesnya, ketika masyarakat adat mengusulkan untuk dijadikan hutan adat istilahnya negara mengembalikan," ungkap Anggi.
Oleh karena itu, Anggi menekankan urgensi pembahasan dan pengesahan RUU Kehutanan oleh DPR. Tujuannya adalah untuk mencegah klaim berlebihan atas kawasan hutan oleh negara dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam pengelolaan hutan.
Poin-Poin Krusial dalam Revisi UU Kehutanan
Anggi menggarisbawahi beberapa poin penting yang perlu direvisi dalam UU Kehutanan:
- Pengakuan Keberadaan dan Hak Masyarakat Adat: Revisi harus secara tegas mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat atas tanah mereka, termasuk hak untuk mengelola hutan adat secara berkelanjutan.
-
Penghormatan Hak-Hak Masyarakat Adat: Revisi harus menjamin penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya hutan, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hutan.
-
Keterbukaan dan Partisipasi Publik: Pembahasan RUU Kehutanan harus dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat, termasuk masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Lambannya pembahasan RUU Kehutanan menjadi perhatian serius. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan (seperti putusan MK Nomor 34 dan Nomor 35) yang menyatakan perlunya perubahan beberapa pasal dalam UU Kehutanan, namun proses revisi masih berjalan lambat.
Anggi menambahkan bahwa pemerintah belum melibatkan masyarakat secara memadai dalam membahas perubahan UU Kehutanan. Ia berharap pembahasan RUU Kehutanan dilakukan secara terbuka dan melibatkan berbagai pihak, sehingga kualitas undang-undang yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan.
Daftar Tuntutan Masyarakat Adat
Berikut adalah daftar tuntutan masyarakat adat:
- Pengakuan wilayah adat sebagai entitas hukum yang sah.
- Hak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam di wilayah adat secara berkelanjutan.
- Partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan dan sumber daya alam.
- Perlindungan dari perampasan tanah dan sumber daya alam oleh pihak lain.
- Keadilan restoratif atas kerugian yang dialami akibat kebijakan yang merugikan masyarakat adat.
Pemerintah dan DPR diharapkan dapat segera merespons desakan ini dengan mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Kehutanan yang berpihak pada kepentingan masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.