Polemik Istilah 'Oplosan' dalam Tata Kelola Migas: Masyarakat Resah, Kualitas BBM Pertamina Dipertanyakan
Polemik Istilah 'Oplosan' dalam Tata Kelola Migas: Masyarakat Resah, Kualitas BBM Pertamina Dipertanyakan
Jakarta - Penggunaan istilah "oplosan" dalam konteks tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, anak perusahaan, dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018-2023 telah memicu keresahan di kalangan masyarakat terkait kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) yang beredar di pasaran. Kekhawatiran ini muncul karena masyarakat merasa dirugikan sebagai konsumen akhir.
Ahli Bahan Bakar dan Pelumas dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto Zaenuri, menyoroti dampak negatif dari penggunaan istilah tersebut. Menurutnya, masyarakat merasa tidak mendapatkan BBM sesuai dengan standar yang dibayarkan, misalnya, membeli Pertamax (RON 92) namun kualitasnya dipertanyakan.
Konotasi Negatif dan Proses Pencampuran dalam Produksi BBM
Yuswidjajanto juga menyoroti konotasi negatif dari kata "oplosan" yang seringkali dikaitkan dengan kegiatan ilegal. Padahal, dalam industri bahan bakar, proses pencampuran (blending) merupakan hal yang lazim dan penting. Produk yang dihasilkan dari kilang minyak bukanlah BBM siap pakai seperti Pertamax, Pertalite, atau Pertamax Turbo. Produk awal tersebut berupa nafta (untuk bensin) dan gasoil (untuk solar).
Nafta memiliki nilai RON yang bervariasi, mulai dari 60 hingga 120. Kilang kemudian melakukan pencampuran nafta dengan berbagai zat aditif untuk memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan, termasuk nilai RON dan parameter lainnya. Proses pencampuran ini penting untuk memastikan produk akhir sesuai dengan standar yang berlaku. Setelah memenuhi spesifikasi, produk tersebut baru bisa didistribusikan.
Kualitas BBM dan Dampaknya pada Kendaraan
Yuswidjajanto menjelaskan bahwa penggunaan BBM yang tidak sesuai dengan rekomendasi RON akan mempengaruhi kinerja mesin kendaraan. Misalnya, mesin terasa lebih berat atau performanya menurun. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tidak terburu-buru menyimpulkan kualitas BBM hanya berdasarkan isu "oplosan" tanpa melakukan pengujian langsung pada kendaraannya.
Kualitas Pertalite Diprediksi Meningkat Jelang Lebaran
Menjelang Lebaran 2025, Yuswidjajanto memperkirakan kualitas Pertalite yang dijual oleh Pertamina akan mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena Pertamina memiliki tugas untuk menjamin ketersediaan dan kualitas BBM selama periode tersebut. Namun, kapasitas produksi kilang Pertamina sendiri belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan Pertalite.
Oleh karena itu, Pertamina melakukan impor BBM dari luar negeri yang memiliki spesifikasi di atas RON 90. BBM impor ini kemudian dicampur dan dijual sebagai Pertalite. Dengan demikian, masyarakat berpotensi merasakan perbedaan positif pada performa kendaraan mereka saat menggunakan Pertalite selama periode Lebaran.
"Kilangnya enggak cukup untuk memproduksi RON 90. Akhirnya impor. Di luar (negeri) itu (BBM RON) 90 enggak ada. Adanya 91 ke atas, kan itu spek internasional. Jadi paling dapatnya (BBM RON) 92, tapi dijual sebagai Pertalite," jelas Yuswidjajanto.
Saran untuk Masyarakat
Yuswidjajanto menyarankan agar masyarakat merasakan sendiri dampak penggunaan Pertalite selama periode Lebaran. Jika terasa ada peningkatan performa pada mesin kendaraan, hal ini bisa menjadi indikasi bahwa kualitas BBM memang lebih baik dari biasanya.
Intinya, masyarakat diimbau untuk tidak mudah terpancing isu "oplosan" dan melakukan penilaian berdasarkan pengalaman langsung saat menggunakan BBM.
Berikut poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Istilah "oplosan" memicu keresahan terkait kualitas BBM.
- Proses pencampuran (blending) adalah hal yang umum dalam produksi BBM.
- Kualitas BBM mempengaruhi performa kendaraan.
- Kualitas Pertalite diprediksi meningkat jelang Lebaran karena impor BBM berkualitas lebih tinggi.
- Masyarakat disarankan untuk merasakan sendiri dampak penggunaan BBM dan tidak mudah terpengaruh isu yang belum terbukti.