Skeptisisme Publik dan Pemberantasan Korupsi di Era Prabowo: Antara Perputaran Elite dan Urgensi Perppu Perampasan Aset
Pemberantasan Korupsi di Bawah Bayang-Bayang Skeptisisme Publik
Gelombang pengungkapan kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini, alih-alih disambut dengan antusiasme, justru memicu skeptisisme mendalam di kalangan masyarakat. Ibarat serial tanpa akhir, kasus demi kasus korupsi terus bermunculan, mulai dari polemik pagar laut hingga dugaan kerugian negara senilai Rp 11,7 triliun dalam kasus Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Respons publik cenderung sinis, menganggapnya sebagai sekadar "pergantian pemain" di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Skeptisisme ini berakar dari beberapa faktor. Pertama, program makan siang gratis yang digagas pemerintahan baru membutuhkan anggaran sangat besar, yang kemudian berdampak pada efisiensi anggaran di sektor lain. Akibatnya, banyak tenaga honorer terpaksa dirumahkan, dan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang semula dijadwalkan pada Maret diundur menjadi Oktober 2025. Penundaan ini memicu spekulasi bahwa negara mengalami defisit anggaran. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, termasuk PHK massal di perusahaan tekstil Sritex, semakin memperburuk sentimen publik terhadap kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini, pengungkapan kasus korupsi, betapa pun besar, kehilangan urgensinya di mata masyarakat.
Sirkulasi Elite dan Mandat Pemberantasan Korupsi
Pandangan bahwa pemberantasan korupsi hanyalah "pergantian pemain" mencerminkan ketidakpercayaan terhadap kinerja pemerintah. Teori sirkulasi elite yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto (1971) relevan dalam konteks ini. Kekuasaan hanya berpindah di antara kelompok-kelompok tertentu, tanpa perubahan sistemik yang mendasar. Pengungkapan kasus korupsi menjadi alat untuk mendepak satu kelompok dan menggantinya dengan kelompok lain, tanpa jaminan perbaikan yang signifikan.
Pernyataan Mahfud MD bahwa pengungkapan skandal korupsi besar tidak lepas dari instruksi presiden mengindikasikan bahwa pemberantasan korupsi sangat bergantung pada kemauan politik (political will) dari pucuk kekuasaan. Di negara dengan sistem koruptif yang mengakar, hanya segelintir orang yang berani dan mampu membongkar praktik korupsi. Bahkan KPK, sebagai lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, menghadapi berbagai tantangan, termasuk intervensi, pelemahan independensi, dan revisi undang-undang.
Menanti Independensi Prabowo dan Urgensi Perppu Perampasan Aset
Sekalipun Prabowo Subianto menunjukkan dukungan terhadap pemberantasan korupsi, publik masih melihatnya dibayangi oleh pengaruh Joko Widodo. Harapan publik adalah Prabowo mampu menjadi pemimpin yang independen dan tidak dikendalikan oleh siapapun. Sebagai ketua umum partai besar dengan koalisi yang kuat di parlemen, serta mantan Komandan Jenderal Kopassus yang dikenal berjiwa ksatria, Prabowo diharapkan mampu keluar dari bayang-bayang presiden sebelumnya.
Arah kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran dalam pemberantasan korupsi masih belum jelas. Publik menanti langkah konkret yang menunjukkan komitmen yang sesungguhnya, bukan sekadar "pergantian pemain" untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu.
Salah satu langkah konkret yang sangat dinantikan adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Namun, RUU ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, yang mengindikasikan ketidaksepakatan di kalangan legislator dalam upaya pemberantasan korupsi. Padahal, RUU ini sangat penting untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dengan memberikan dasar hukum yang kuat untuk merampas aset hasil tindak pidana korupsi.
Belajar dari Singapura dan Mendesak Penerbitan Perppu
Singapura, sebagai contoh, telah menerapkan regulasi perampasan aset sejak 1960 dan terus menyempurnakannya. Prevention of Corruption Act (PCA) Chapter 241 memberikan kewenangan kepada Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) untuk menyita dan mengalihkan aset koruptor ke kas negara. CPIB memiliki kewenangan yang luas, termasuk Power of Arrest dan Power of Investigation, serta menjalin kerja sama internasional dalam pelacakan dan pengembalian aset ilegal.
Di Indonesia, RUU Perampasan Aset masih menjadi misteri, dengan proses pengesahan yang terus tertunda. Jika Prabowo Subianto benar-benar berkomitmen untuk memberantas korupsi, ia dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset untuk memberikan efek jera yang nyata bagi para koruptor.
Pemberantasan korupsi di Indonesia membutuhkan tindakan nyata, bukan sekadar wacana. Untuk memulihkan kepercayaan publik dan menghindari anggapan bahwa kasus korupsi hanyalah "pergantian pemain," Prabowo Subianto harus membuktikan komitmennya dengan segera menerbitkan Perppu Perampasan Aset. Langkah ini mungkin tidak mudah secara politis dan hukum, tetapi merupakan satu-satunya cara untuk menepis prasangka buruk masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Taufiqullah Hasbul, peneliti di Akademi Hukum dan Politik (AHP)