Polemik CASN 2024: Antara Strategi 'Polisi Baik, Polisi Jahat' dan Dampak Kebijakan terhadap Perusahaan
Manuver Pemerintah dalam Kisruh CASN 2024: Strategi 'Good Cop, Bad Cop' dan Implikasi bagi Dunia Usaha
Isu seputar pengangkatan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) tahun 2024 menjadi sorotan publik. Di tengah dinamika maju-mundur kebijakan, terendus sebuah pola komunikasi yang mengingatkan pada strategi klasik "Good Cop, Bad Cop". Strategi ini, yang mulanya populer di kalangan kepolisian untuk menginterogasi, kini tampak diadopsi dalam ranah pemerintahan.
Dalam konferensi pers yang digelar pada 17 Maret 2025, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini, mengumumkan percepatan proses CASN 2024. Pengangkatan CPNS ditargetkan selesai paling lambat Juni 2025, sedangkan PPPK Tahap I dan II ditargetkan rampung pada Oktober 2025. Percepatan ini tentu menjadi angin segar bagi para calon ASN yang sebelumnya dilanda ketidakpastian.
Namun, sebelum pengumuman percepatan ini, publik sempat dikejutkan dengan potensi penundaan pengangkatan CASN. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif Fakrulloh, bahkan menyarankan agar perusahaan lama mempertimbangkan untuk mempekerjakan kembali CASN yang terkena dampak penundaan tersebut. Pernyataan ini memicu berbagai reaksi, terutama dari kalangan pengusaha.
Analisis Strategi 'Good Cop, Bad Cop'
Pemerintah seolah memainkan peran ganda dalam polemik ini. Di satu sisi, ada pihak yang mengumumkan kebijakan yang kurang populer (penundaan), berperan sebagai "bad cop". Di sisi lain, muncul figur yang lebih tinggi (Presiden) dengan keputusan yang lebih pro-rakyat (percepatan), berperan sebagai "good cop". Pola komunikasi ini, meski terkesan kontroversial, bertujuan untuk memperkuat citra positif pemimpin sebagai sosok yang responsif terhadap aspirasi masyarakat, khususnya dalam isu krusial seperti pengangkatan CASN.
Melansir situs resmi Menpan, Prasetyo Hadi mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya rekrutmen ASN sebagai wujud pengabdian dalam melayani masyarakat, bukan hanya sekadar membuka lapangan pekerjaan.
Dampak Kebijakan terhadap Perusahaan
Usulan untuk mempekerjakan kembali CASN yang telah mengundurkan diri menimbulkan pertanyaan besar. Apakah perusahaan benar-benar siap menerima kembali mantan karyawan mereka? Dari sudut pandang hukum, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur bahwa hubungan kerja berakhir apabila karyawan mengundurkan diri atas kemauan sendiri secara sah dan memenuhi syarat tertentu. Dengan demikian, usulan tersebut terkesan kurang memiliki landasan hukum yang kuat.
Dalam perspektif Human Resource Planning (HR Planning) dan Human Resource Management (HRM), usulan ini berpotensi menimbulkan sejumlah implikasi negatif:
- Gangguan pada perencanaan tenaga kerja: Perusahaan yang telah merekrut pengganti atau mendistribusikan tugas kepada karyawan lain akan menghadapi dilema dalam mengakomodasi mantan karyawan.
- Potensi penurunan produktivitas: CASN yang kembali bekerja sementara hanya akan fokus hingga pengangkatan resmi mereka, sehingga produktivitas mereka bisa menurun.
- Dampak pada moral karyawan: Karyawan lain mungkin merasa tidak nyaman atau bahkan kehilangan motivasi jika perusahaan terkesan mengutamakan mantan karyawan.
- Ketidakkonsistenan kebijakan SDM: Kebijakan re-hiring yang dipicu oleh faktor eksternal dapat menciptakan preseden buruk dan mengganggu konsistensi kebijakan SDM perusahaan.
Pelajaran dari Kisruh CASN 2024
Keputusan percepatan pengangkatan CASN memberikan kejelasan bagi perusahaan dan menghilangkan dilema terkait re-hiring. Namun, insiden ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan SDM. Transparansi, perencanaan yang matang, dan pertimbangan terhadap seluruh aspek (ASN, perusahaan, dan pasar tenaga kerja) sangat penting untuk menghindari kisruh serupa di masa depan.
Walaupun langkah maju ini patut diapresiasi, tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah sempat menunjukkan inkonsistensi dalam kebijakan SDM. Evaluasi menyeluruh terhadap proses pengambilan keputusan dan komunikasi publik perlu dilakukan untuk memastikan kebijakan di masa depan lebih terarah dan berdampak positif bagi semua pihak.