IHSG Terjun Bebas, Ekonom: Pasar Kirim Sinyal Krisis Ekonomi Akibat Kebijakan Pemerintah yang Kontroversial
Pasar Merespons Negatif Kebijakan Pemerintah: Analisis Terkini Terkait Anjloknya IHSG
Kepanikan melanda pasar saham Indonesia ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam, bahkan sempat memicu trading halt beberapa waktu lalu. Ekonom senior Didik J Rachbini dari Universitas Paramadina mengaitkan kejadian ini dengan ketidakpuasan pasar terhadap serangkaian kebijakan pemerintah, baik dari segi ekonomi maupun politik. Penurunan IHSG bukan sekadar fluktuasi pasar biasa, melainkan sebuah sinyal peringatan serius tentang kesehatan ekonomi Indonesia di mata investor.
Didik J Rachbini secara tegas menyatakan bahwa anjloknya IHSG mencerminkan ketidakpercayaan pasar terhadap arah kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah. Investor, baik lokal maupun asing, menunjukkan keengganan untuk menanamkan modalnya di Indonesia, memilih untuk mencari instrumen investasi yang lebih stabil dan aman dari intervensi politik yang dianggap merugikan. Arus modal keluar (capital outflow) menjadi bukti nyata dari kekhawatiran ini.
Revisi UU TNI dan Pembentukan Danantara Jadi Sorotan
Salah satu faktor yang memicu keresahan pasar adalah revisi Undang-Undang TNI. Kalangan investor khawatir bahwa perubahan ini dapat mengancam stabilitas demokrasi dan menciptakan ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif terhadap iklim investasi. Didik J Rachbini menekankan bahwa stabilitas politik sangat erat kaitannya dengan kepercayaan investor dan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, pembentukan Danantara, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan investasi, justru menuai kritik karena dianggap terburu-buru dan kurang matang dalam perencanaannya. Meskipun ide dasarnya baik, implementasi yang kurang hati-hati justru memicu reaksi negatif dari pasar. Data menunjukkan bahwa investor asing menarik dana hingga Rp 24 triliun setelah Danantara diresmikan, termasuk Rp 3,47 triliun dalam sehari. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar merespons negatif kebijakan tersebut.
APBN yang Tidak Transparan dan Utang yang Mengkhawatirkan
Didik J Rachbini juga menyoroti masalah lain yang membebani pasar, yaitu ketidakpastian terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasar menilai bahwa kebijakan fiskal pemerintah saat ini berpotensi membahayakan stabilitas makroekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar rupiah. Defisit anggaran yang melebar dan penerimaan pajak yang seret semakin memperburuk situasi.
Kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN dan sikap pemerintah yang cenderung mengabaikan masukan dari para ahli ekonomi semakin memperburuk kepercayaan pasar. Investor khawatir bahwa kebijakan fiskal yang tidak prudent dapat mengancam stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Saran untuk Pemerintah: Perbaiki Kebijakan dan Bangun Kepercayaan Pasar
Didik J Rachbini memberikan saran kepada pemerintah untuk segera melakukan perbaikan kebijakan dan membangun kembali kepercayaan pasar. Pemerintah perlu lebih terbuka terhadap masukan dari para ahli ekonomi dan pelaku pasar, serta menghindari kebijakan yang bersifat mendadak dan kurang terencana. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan APBN juga sangat penting untuk memulihkan kepercayaan investor.
Lebih lanjut Didik mengatakan bahwa, Pemerintah perlu menyadari bahwa pasar memiliki peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus pro-pasar dan mempertimbangkan dampaknya terhadap sentimen investor. Jika pemerintah terus mengabaikan sinyal dari pasar, maka kepercayaan investor akan terus merosot dan upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan semakin sulit.
Didik J Rachbini menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk bergandengan tangan dengan pasar dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Hanya dengan membangun kepercayaan pasar, Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mensejahterakan rakyat.
Daftar permasalahan yang disoroti:
- Revisi UU TNI yang dinilai mengancam demokrasi.
- Pembentukan Danantara yang terburu-buru dan kurang matang.
- Kebijakan fiskal yang tidak transparan dan berpotensi membahayakan stabilitas makroekonomi.
- Defisit anggaran yang melebar dan penerimaan pajak yang seret.
- Kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN.
- Sikap pemerintah yang cenderung mengabaikan masukan dari para ahli ekonomi.