Studi Ungkap Dampak Puasa terhadap Konsolidasi Memori: Peningkatan Ingatan Faktual, namun Pengorbanan Detail Kontekstual
Studi Ungkap Dampak Puasa terhadap Konsolidasi Memori: Peningkatan Ingatan Faktual, namun Pengorbanan Detail Kontekstual
Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Neurobiology of Learning and Memory, Volume 218, Maret 2025, mengungkapkan temuan menarik mengenai pengaruh puasa terhadap daya ingat manusia. Studi yang dilakukan oleh Profesor Jan Born dari Institut Psikologi Medis dan departemen Neurobiologi Perilaku di Universitas Tübingen ini menunjukkan bahwa meskipun puasa dapat meningkatkan kemampuan mengingat fakta dan pengetahuan umum, hal tersebut justru berdampak negatif pada ingatan akan detail kontekstual, seperti waktu dan tempat terjadinya suatu peristiwa.
Para peneliti melibatkan peserta laki-laki sehat dalam dua eksperimen terpisah. Dalam setiap eksperimen, peserta menjalani dua kondisi: kondisi puasa selama 18,5 jam, diikuti oleh periode konsolidasi memori selama 10 jam dalam keadaan puasa; dan kondisi kenyang, di mana peserta mengonsumsi makanan standar selama periode yang sama. Untuk memastikan validitas data, setiap peserta mengalami kedua kondisi dengan jeda minimal empat minggu. Sebelum setiap eksperimen, peserta menjalani diet standar selama dua hari dan menghindari kafein serta alkohol. Makanan yang diberikan dalam kondisi kenyang dikendalikan dan disesuaikan dengan kebutuhan kalori masing-masing peserta berdasarkan faktor-faktor seperti tinggi badan, berat badan, usia, dan tingkat aktivitas.
Eksperimen pertama melibatkan tugas mengingat pasangan kata, tes memori visual menggunakan bentuk abstrak, dan latihan mengetuk jari untuk menguji memori keterampilan motorik. Eksperimen kedua mengganti tes memori visual dengan tes memori yang lebih kompleks, yaitu tes 'Apa-Di Mana-Kapan', yang dirancang untuk menguji ingatan akan objek, lokasi, dan waktu kejadian. Hasil pengujian memori dilakukan 24 hingga 48 jam setelah sesi pembelajaran, tergantung pada eksperimennya, dengan mempertimbangkan kondisi peserta (puasa atau kenyang) pada saat pengujian.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kemampuan mengingat pasangan kata pada kondisi puasa. Peserta yang berpuasa mengingat lebih banyak pasangan kata dengan benar dan lebih cepat dibandingkan dengan peserta dalam kondisi kenyang. Namun, fenomena yang menarik ditemukan, yaitu puasa ternyata mengganggu memori spasial atau ingatan terkait lokasi dan waktu. Temuan ini menunjukkan adanya prioritas alokasi sumber daya otak selama kondisi lapar. Hipotesis yang diajukan adalah otak memprioritaskan konsolidasi informasi faktual dasar, sementara menekan penyandian detail kontekstual yang lebih rumit.
Profesor Born mengemukakan spekulasi bahwa rasa lapar dapat mengurangi gangguan pada hipokampus—struktur otak yang berperan penting dalam memori episodik—sehingga memfasilitasi konsolidasi representasi semantik yang lebih efisien di korteks. Namun, ia menekankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk memvalidasi dan mengembangkan temuan ini. Penelitian ini membuka perspektif baru dalam memahami mekanisme konsolidasi memori dan interaksi antara kondisi fisiologis seperti puasa dengan proses kognitif tersebut. Meskipun puasa tampaknya dapat meningkatkan aspek tertentu dari daya ingat, dampaknya terhadap jenis memori lain perlu dikaji lebih lanjut untuk memahami implikasi klinis dan praktisnya secara menyeluruh.
Metodologi Penelitian:
- Dua eksperimen terpisah dengan kondisi puasa dan kenyang.
- Periode puasa 18,5 jam, diikuti periode konsolidasi 10 jam.
- Tugas memori beragam: pasangan kata, memori visual, tes 'Apa-Di Mana-Kapan', dan memori motorik.
- Pengujian memori 24 atau 48 jam setelah sesi pembelajaran.
- Pengendalian ketat asupan makanan dan minuman.
- Monitoring kadar glukosa darah dan penilaian subjektif rasa lapar, suasana hati, kelelahan, dan kantuk.
Kesimpulan:
Studi ini memberikan bukti awal bahwa puasa dapat meningkatkan konsolidasi memori untuk informasi faktual, namun dapat mengorbankan detail kontekstual. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengungkap mekanisme neurobiologis yang mendasari temuan ini dan implikasinya terhadap kesehatan kognitif.