RUU TNI: Potensi Pelanggaran HAM dan Dampak Sosial-Ekonomi yang Mengkhawatirkan
RUU TNI: Potensi Pelanggaran HAM dan Dampak Sosial-Ekonomi yang Mengkhawatirkan
Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tengah dibahas menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan dampak negatif terhadap perekonomian nasional. Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, menyoroti perluasan peran TNI dalam jabatan sipil sebagai faktor pemicu utama. Hussein menekankan bahwa peningkatan persinggungan antara aparat TNI dan masyarakat sipil akibat revisi UU ini dapat memicu kekerasan dan pelanggaran HAM. Hal ini dikarenakan pelatihan dan pendidikan TNI yang berfokus pada peperangan dan menghadapi musuh, berpotensi menimbulkan persepsi masyarakat sebagai ancaman ketika TNI terlibat dalam operasi domestik.
Lebih lanjut, Hussein memberikan contoh draf RUU TNI yang menyebutkan tugas TNI dalam menjaga keamanan di darat, khususnya TNI Angkatan Darat (AD). Ia memperingatkan bahwa tugas tersebut berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap warga sipil. TNI, yang terlatih untuk menghadapi musuh eksternal, dapat salah mengartikan masyarakat sebagai ancaman internal. Hal ini berisiko meningkatkan insiden kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan warga sipil.
Selain potensi pelanggaran HAM, revisi UU TNI juga dikhawatirkan akan memperburuk kondisi perekonomian nasional. Hussein menyatakan bahwa perluasan peran TNI dalam jabatan sipil justru akan mempersempit lapangan kerja bagi masyarakat sipil. Situasi ini dinilai semakin memprihatinkan mengingat kondisi ekonomi nasional yang tengah mengalami tantangan. Kebijakan tersebut dianggap tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi yang sulit dan malah menambah beban masyarakat, bukannya menciptakan solusi untuk menyerap tenaga kerja. Anggapan masyarakat akan pekerjaan rangkap (double job) bagi anggota TNI juga menjadi sorotan, menunjukkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kondisi rakyat.
Perlu diingat, Komisi I DPR RI telah menyepakati RUU TNI untuk dibawa ke tingkat II, atau rapat paripurna. Kesepakatan ini dicapai dalam rapat pleno antara Komisi I DPR RI dan Pemerintah pada 18 Maret 2025. Revisi UU TNI ini mencakup beberapa poin penting, antara lain:
- Penambahan usia dinas keprajuritan hingga 58 tahun untuk bintara dan tamtama, dan hingga 60 tahun untuk perwira.
- Kemungkinan perpanjangan masa kedinasan hingga 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.
- Perubahan aturan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga, seiring meningkatnya kebutuhan penempatan tersebut.
Imparsial secara tegas menyuarakan keprihatinannya terhadap potensi dampak negatif dari revisi UU TNI ini, baik dari sisi HAM maupun dampak sosial ekonomi. Organisasi ini mendesak agar pemerintah dan DPR RI mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan mempertimbangkan dampak sosial ekonomi yang luas sebelum mengesahkan revisi tersebut.
Kesimpulannya, revisi UU TNI ini menyimpan potensi risiko yang signifikan, memerlukan kajian mendalam dan pertimbangan yang matang untuk mencegah konsekuensi yang merugikan bagi masyarakat dan negara.