Mahkamah Agung Thailand Cabut Aturan Gaya Rambut Siswa Era Junta 1975

Mahkamah Agung Thailand Cabut Aturan Gaya Rambut Siswa Era Junta 1975

Dalam sebuah keputusan bersejarah yang mengakhiri puluhan tahun pembatasan, Mahkamah Agung Administratif Thailand telah membatalkan peraturan gaya rambut siswa yang telah berlaku sejak tahun 1975. Aturan yang dikeluarkan di era junta militer tersebut selama ini membatasi gaya rambut siswa, menetapkan standar rambut pendek untuk laki-laki dan poni sebatas telinga untuk perempuan. Keputusan ini disambut gembira oleh para aktivis dan siswa yang telah lama memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak atas tubuh sendiri.

Peraturan yang dianggap kuno dan tidak relevan dengan konteks masyarakat modern ini, akhirnya dinyatakan melanggar konstitusi dan hak asasi manusia. Putusan tersebut merupakan respons atas petisi yang diajukan oleh 23 siswa sekolah negeri pada tahun 2020. Para siswa tersebut berargumen bahwa aturan tersebut merupakan bentuk pelanggaran kebebasan individu yang dijamin oleh konstitusi. Perjuangan mereka, yang berawal dari keberanian untuk menantang aturan yang sudah mengakar selama setengah abad, menandai sebuah tonggak penting dalam sejarah perjuangan hak-hak siswa di Thailand.

Meskipun telah ada pelonggaran bertahap di beberapa sekolah selama beberapa tahun terakhir, masih banyak sekolah yang berpegang teguh pada peraturan tahun 1975. Praktik ini termasuk kewenangan pihak sekolah untuk memotong rambut siswa yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Hal ini menimbulkan kritik dan dianggap sebagai tindakan yang represif dan melanggar hak-hak siswa. Bahkan kementerian pendidikan sendiri telah mengeluarkan kebijakan yang lebih longgar pada tahun 2020, mengizinkan gaya rambut yang lebih beragam, tetapi tetap memberlakukan beberapa batasan.

Namun, kebijakan kementerian pendidikan tersebut tidak sepenuhnya efektif. Beberapa sekolah tetap mempertahankan aturan lama. Baru pada tahun 2023, kementerian pendidikan kemudian menyatakan bahwa penentuan standar gaya rambut harus dilakukan melalui kesepakatan bersama antara siswa, orang tua, dan pihak sekolah. Langkah ini menunjukkan usaha pemerintah untuk mengakomodir tuntutan perubahan, namun masih kurang efektif dalam mengatasi akar masalah yang terletak pada aturan kuno tersebut. Keputusan Mahkamah Agung ini, karenanya, menjadi langkah akhir yang tegas dalam menyelesaikan masalah ini secara tuntas.

Salah seorang aktivis yang turut berperan dalam perjuangan ini, Panthin Adulthananusak, yang kini telah lulus universitas, menyatakan bahwa meskipun awalnya terasa mustahil, keberanian untuk bersuara dan menantang otoritas merupakan hal yang sangat penting. Ia menekankan pentingnya perjuangan siswa untuk melawan ketidakadilan dan merebut hak-hak mereka. Perjuangan mereka menjadi inspirasi bagi generasi muda Thailand untuk berani menyuarakan pendapat dan memperjuangkan hak-hak mereka di masa depan.

Keputusan Mahkamah Agung ini tidak hanya memberikan kebebasan berekspresi bagi siswa Thailand dalam hal gaya rambut, tetapi juga menjadi preseden penting dalam penegakan hak asasi manusia dan kebebasan individu di negara tersebut. Ini menandakan babak baru dalam kehidupan sekolah di Thailand, di mana siswa dapat mengekspresikan diri dengan lebih bebas dan tanpa rasa takut akan sanksi yang tidak adil. Putusan ini diharapkan mampu mendorong reformasi lebih lanjut dalam sistem pendidikan Thailand dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan menghormati hak-hak siswa.