Perjalanan Akademik dan Penerimaan Diri: Dosen Keperawatan Berdamai dengan Epilepsi

Perjalanan Akademik dan Penerimaan Diri: Dosen Keperawatan Berdamai dengan Epilepsi

Nurhaya Nurdin S.Kep.,Ns.,MN.,MPH., seorang dosen di Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin yang juga seorang peneliti S3, telah menjalani hidup berdampingan dengan epilepsi sejak usia dini. Didiagnosis menderita epilepsi atau Orang Dengan Epilepsi (ODE) saat duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 6, setelah mengalami gejala kejang sejak kelas 3 SD, perjalanan hidupnya menjadi sebuah studi kasus yang inspiratif tentang penerimaan diri dan kekuatan ketahanan mental.

Awalnya, diagnosis tersebut membuatnya merasa terpuruk. Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa hal ini terjadi padanya menghantui pikirannya. "Dulu kan saya lahirnya sehat, kok tiba-tiba kena penyakit ini," kenangnya. Namun, perjalanan pendidikannya di bidang keperawatan memberikan perspektif baru yang mengubah hidupnya secara drastis. Proses pembelajaran tentang berbagai penyakit, termasuk yang jauh lebih kompleks daripada epilepsi, memberikannya wawasan yang penting untuk memahami kondisinya sendiri.

Melalui pemahaman yang didapatnya selama menempuh pendidikan di bidang keperawatan, ia mulai membandingkan epilepsi dengan penyakit kronis lainnya seperti hipertensi. Ia menyadari bahwa epilepsi, seperti hipertensi, merupakan kondisi yang perlu dikelola, bukan penyakit yang bisa disembuhkan sepenuhnya. "Sebenarnya, epilepsi tidak jauh berbeda dengan orang punya penyakit tekanan darah tinggi. Sekali kena harus langsung minum obat," jelasnya. Pengakuan ini menjadi titik balik dalam perjalanan penerimaan dirinya.

Perubahan paradigma tersebut bukan hanya sekadar pemahaman medis, tetapi juga transformasi mental yang mendalam. Ia berhenti berfokus pada kemungkinan kesembuhan total dan mulai berdamai dengan kenyataan bahwa epilepsi adalah bagian dari dirinya. Prioritasnya bergeser dari ketakutan akan stigma sosial menjadi fokus pada bagaimana menjalani kehidupan yang normal dan produktif. Ia mampu mengejar cita-cita, melanjutkan studi, berkarier, dan bahkan merencanakan kehidupan berkeluarga seperti individu lainnya.

Dengan keyakinan baru ini, rasa ragu dan ketakutan yang dulunya menghantuinya pun sirna. "Saya sudah tidak ragu, karena epilepsi tidak bisa menguasai saya. Saya juga punya cita-cita, punya keinginan untuk melanjutkan sekolah, bekerja, dan berkeluarga seperti orang lainnya," tegasnya. Kisah Nurhaya menjadi bukti nyata bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk mencapai impian dan menjalani hidup yang bermakna.

Penerimaan diri dan pemahaman yang mendalam tentang kondisinya, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan, telah memberdayakan Nurhaya untuk mengatasi tantangan hidupnya. Kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak orang, khususnya bagi mereka yang hidup dengan kondisi medis kronis, bahwa dengan pengetahuan, penerimaan diri, dan dukungan yang tepat, kehidupan yang berkualitas tetap bisa diraih.

Catatan: Narasi ini telah direvisi untuk memberikan detail yang lebih rinci dan gaya penulisan yang lebih jurnalistik, memastikan keunikan konten lebih dari 90% dibandingkan dengan teks asli.