Kontroversi Surat Edaran THR dari Pengurus RW Jembatan Lima: Klarifikasi dan Implikasi Sosial

Kontroversi Surat Edaran THR dari Pengurus RW Jembatan Lima: Klarifikasi dan Implikasi Sosial

Baru-baru ini, beredar surat edaran dari pengurus RW 02 Kelurahan Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, yang meminta sejumlah uang tunjangan hari raya (THR) kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut. Surat edaran yang viral di media sosial ini memicu perdebatan publik terkait etika, transparansi, dan implikasi sosial dari praktik tersebut. Nominal THR yang diminta, yaitu Rp 1.000.000 per perusahaan, menjadi sorotan utama.

Sekretaris RW 02, Febri, memberikan klarifikasi atas polemik ini. Ia mengakui bahwa surat edaran tersebut memang berasal dari pengurus RW, namun menegaskan bahwa permintaan THR ditujukan khusus kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan akses jalan di wilayah RW 02 untuk kegiatan bongkar muat barang. Febri menjelaskan bahwa terdapat sekitar 30 hingga 40 perusahaan yang secara rutin melakukan aktivitas tersebut di Jalan Laksa RW 02. Penting untuk ditekankan bahwa surat tersebut tidak ditujukan kepada pedagang atau pemilik gudang lokal. Febri menekankan bahwa praktik pengumpulan THR ini telah berlangsung selama tiga tahun terakhir, meski nominal yang diterima selalu lebih rendah dari yang tertera dalam surat edaran, yaitu berkisar antara Rp 200.000 hingga Rp 500.000.

Lebih lanjut, Febri menjelaskan penggunaan dana THR yang terkumpul. Ia menyatakan bahwa dana tersebut secara konsisten dialokasikan untuk kegiatan sosial yang bermanfaat bagi warga RW 02. Dana tersebut digunakan untuk pembagian sembako menjelang Idul Fitri, bantuan untuk warga yang meninggal dunia, serta pemasukan ke kas RW sebagai dana darurat untuk keperluan warga. Dengan demikian, menurut Febri, pengumpulan THR ini dapat dilihat sebagai bentuk kontribusi perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar yang terdampak aktivitas operasional mereka. Ia menyamakannya dengan konsep Corporate Social Responsibility (CSR), di mana perusahaan memberikan kembali kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab sosial.

Namun, pernyataan Febri ini tetap menimbulkan pertanyaan seputar transparansi dan mekanisme pengumpulan dana. Kurangnya transparansi mengenai jumlah pastinya yang diterima setiap tahun dan rincian penggunaan dana, dapat memicu kecurigaan dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Meskipun niat awal mungkin terpuji, ketidakjelasan mekanisme dan besaran nominal yang tertera dalam surat edaran menimbulkan kesan pemaksaan, meskipun Febri mengklaim bahwa nominal tersebut hanyalah acuan, bukan kewajiban.

Permasalahan ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana di tingkat RW. Meskipun ada niat baik untuk membantu masyarakat, mekanisme penggalangan dana yang lebih terstruktur dan transparan dibutuhkan agar tidak menimbulkan persepsi negatif dan memastikan penggunaan dana yang tepat sasaran. Ke depan, pengurus RW perlu mempertimbangkan mekanisme yang lebih formal dan terdokumentasi dengan baik untuk pengumpulan dana, termasuk melibatkan warga dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah potensi misinterpretasi atau penyalahgunaan dana.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah praktik penggalangan dana ini sesuai dengan peraturan dan etika pemerintahan, dan apakah terdapat alternatif lain yang lebih transparan dan akuntabel untuk mendapatkan dana untuk kegiatan sosial di RW 02. Perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap praktik ini agar dapat diimplementasikan dengan cara yang lebih bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.