Etika dan Substansi: Mantan Jubir KPK Bela Sekjen PDIP dalam Kasus Suap Harun Masiku
Etika dan Substansi: Mantan Jubir KPK Bela Sekjen PDIP dalam Kasus Suap Harun Masiku
Pengacara Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, yang tengah menghadapi persidangan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan terkait buron Harun Masiku, kembali menjadi sorotan publik. Terlebih, salah satu pengacara yang membela Hasto adalah Febri Diansyah, mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keputusan Febri ini menuai kritik, khususnya menyangkut etika dan substansi pembelaannya.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, secara tegas mempertanyakan etika yang dipegang Febri. Mengingat rekam jejak Febri sebagai mantan Jubir KPK yang menangani kasus-kasus korupsi, termasuk yang melibatkan OTT KPU pada Januari 2020—yang menjadi cikal bakal kasus Hasto—membela Hasto dianggap sebagai tindakan yang kurang tepat. Lakso menekankan bahwa Febri, sebagai mantan pegiat antikorupsi, seharusnya memahami batasan etika dan peran Hasto dalam revisi UU KPK dan TWK (Tes Wawasan Kebangsaan).
Lebih jauh, Lakso menilai substansi pembelaan Febri terhadap Hasto lemah dan cenderung mengarah pada adu narasi. Ia menyoroti pernyataan Febri yang menganggap dakwaan KPK terkesan ‘dioplos’, sebuah pernyataan yang dianggap Lakso sebagai indikasi kurangnya pemahaman tim hukum Hasto terhadap kasus ini. Lakso berpendapat bahwa bukti yang dimiliki KPK sudah cukup solid, bahkan sejak tahap praperadilan, untuk membuktikan keterlibatan Hasto.
Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Januari 2020, yang menyeret empat tersangka: Wahyu Setiawan (Komisioner KPU), Agustiani Tio (orang kepercayaan Wahyu), Harun Masiku (caleg PDI-P), dan Saeful. Wahyu, Agustiani, dan Saeful telah divonis bersalah dan menjalani hukuman penjara, sementara Harun Masiku hingga kini masih buron. Pada akhir 2024, KPK menetapkan Hasto dan pengacara Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka baru dalam kasus ini.
Febri Diansyah, yang masih menjabat sebagai Kabiro Humas KPK saat kasus ini mencuat pada 2020 dan baru mengundurkan diri pada September 2020, memberikan penjelasan terkait keputusannya membela Hasto. Febri berargumen bahwa ia melihat banyak persoalan hukum dalam proses penanganan perkara ini, dan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, peran Hasto dalam kasus suap ini tidak jelas.
Febri menekankan bahwa berdasarkan putusan pengadilan, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Hasto secara langsung sebagai pemberi suap kepada Wahyu Setiawan. Sumber dana suap, menurut putusan tersebut, berasal dari Harun Masiku. Pernyataan ini menjadi inti argumen pembelaan Febri terhadap Hasto dalam persidangan yang dijadwalkan pada 14 Maret 2025 di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Namun, kritik Lakso terhadap Febri menyoroti lebih dari sekadar aspek hukum. Ia mempertanyakan integritas dan komitmen mantan pegiat antikorupsi tersebut dalam memperjuangkan nilai-nilai pemberantasan korupsi. Perdebatan ini pun menggarisbawahi dilema etika dalam dunia hukum, khususnya bagi mereka yang pernah terlibat langsung dalam penegakan hukum di bidang antikorupsi.
Sidang kasus Hasto Kristiyanto yang akan datang akan menjadi ajang pembuktian bagi kedua belah pihak, baik KPK yang menuntut Hasto maupun tim kuasa hukum Hasto yang beranggotakan nama-nama ternama, termasuk mantan Jubir KPK Febri Diansyah. Publik pun menunggu bagaimana argumen hukum yang diajukan dapat menjawab pertanyaan publik mengenai keterlibatan Hasto dalam kasus ini dan etika di balik keputusan Febri Diansyah membelanya.