Tangis Haru Warnai Perpisahan Tiga Siswa di SD Terpencil Kulon Progo
Di sebuah sekolah dasar yang sederhana, SDK Widodo, yang terletak di pedalaman Kulon Progo, sebuah perpisahan mengharukan terjadi. Hanya tiga siswa kelas enam yang lulus tahun ini, Dimas, Juli, dan Dicky. Acara perpisahan berlangsung sederhana, jauh dari kemewahan dan hingar bingar perayaan pada umumnya. Namun, kesederhanaan itu justru memancarkan makna yang mendalam.
Tanpa panggung megah, tanpa iringan gamelan yang meriah, dan tanpa sorotan kamera, ketiga siswa itu dilepas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Jabat tangan erat, pelukan hangat, dan isak tangis menjadi saksi bisu momen penting dalam hidup mereka. Tugiyono, seorang tokoh masyarakat yang mewakili orang tua siswa, dengan suara bergetar menyampaikan ucapan terima kasih kepada para guru atas dedikasi dan pengorbanan mereka.
Kepala Sekolah SDK Widodo, Agus Edy Purwanto, pun tak kuasa menahan air mata haru. Ia satu per satu menyerahkan ketiga siswanya kepada perwakilan orang tua. Tujuh siswa dari kelas yang lebih rendah hadir sebagai saksi, mengenakan pakaian Jawa sederhana, lurik dan jarik untuk laki-laki, kebaya untuk perempuan, tanpa riasan berlebihan. Kesederhanaan ini mencerminkan kondisi sekolah dan latar belakang siswa.
Tidak ada map ijazah mewah, plakat penghargaan gemerlap, atau hadiah-hadiah simbolis. Hiburan pun disuguhkan dengan sederhana, berupa puisi dari Juli, salam perpisahan dari Dimas, dan lagu Hymne Guru yang dinyanyikan dengan penuh khidmat. Suara musik seakan tertutupi oleh isak tangis dan doa yang dipanjatkan.
Acara dilanjutkan dengan pemutaran film pendek karya guru, yang menggambarkan kehidupan sekolah sehari-hari, mulai dari kerja bakti, belajar di kelas yang bocor, hingga momen ujian yang harus dilakukan di sekolah desa tetangga karena keterbatasan akses internet. Film tersebut menjadi pengingat akan perjuangan dan semangat para siswa dan guru di tengah segala keterbatasan.
SDK Widodo, yang berdiri sejak tahun 1967, terletak di lereng Bukit Menoreh, di perbatasan Kulon Progo dan Purworejo. Lokasinya yang terpencil dan medan yang berat membuat akses ke sekolah menjadi sulit. Jalan menuju sekolah sebagian besar rusak dan nyaris tidak layak dilalui.
Dahulu, sekolah ini ramai dengan siswa, namun kini hanya memiliki tujuh siswa. Bangunan sekolah pun sudah mulai lapuk, dengan langit-langit yang bocor dan jendela yang rusak. Sebagian besar siswa berasal dari keluarga kurang mampu dan berkebutuhan khusus. Namun, semangat mereka untuk belajar tidak pernah padam.
Suprihatin, seorang ibu dari salah satu siswa, tak kuasa menahan haru saat menceritakan semangat belajar anaknya, meskipun keluarganya hanya mengandalkan pembuatan gula merah yang hasilnya tidak menentu. Ia sangat bersyukur anaknya bisa membaca, belajar dengan baik, dan memiliki sopan santun.
Kepala Sekolah Agus Edy Purwanto memastikan bahwa ketiga lulusan akan melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri terdekat di Kokap. Ia merasa bertanggung jawab secara moral untuk membantu anak-anak tersebut melanjutkan pendidikan mereka. Pihak sekolah akan membantu mendaftarkan mereka ke SMP.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kulon Progo, Nur Wahyudi, rekapitulasi kelulusan SD tahun ini masih berjalan. Namun, diperkirakan ada lebih dari 5.000 siswa yang lulus SD tahun ini, dengan daya tampung SMP mencapai 5.373 kursi. Kisah perpisahan di SDK Widodo menjadi pengingat akan pentingnya pendidikan bagi semua anak, tanpa terkecuali, di manapun mereka berada.