Evakuasi WNI dari Zona Konflik: Antara Tanggap Darurat dan Kesiapsiagaan Strategis
Pemerintah Indonesia mengambil langkah sigap dengan mengevakuasi warga negara Indonesia (WNI) dari Iran dan Israel, dua wilayah yang tengah dilanda konflik. Operasi yang dimulai pada Jumat, 20 Juni 2025, melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui Crisis Response Team (CRT) yang beranggotakan 34 personel gabungan. WNI dari Iran dievakuasi melalui jalur darat menuju Baku, Azerbaijan, sementara WNI dari Israel melalui Amman, Yordania, sebelum dipulangkan dengan penerbangan komersial. Tindakan ini merupakan perwujudan komitmen negara dalam melindungi warganya di tengah ancaman bahaya.
Namun, efektivitas dan kesiapan pemerintah dalam menghadapi situasi krisis perlu dievaluasi lebih mendalam. Meskipun tindakan evakuasi patut diapresiasi, beberapa aspek menunjukkan adanya keterlambatan dan kurangnya antisipasi. Intensitas konflik di Iran dan Israel telah meningkat sejak awal Juni, dengan laporan mengenai peningkatan serangan drone dan rudal di wilayah sipil. Data dari Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED) menunjukkan peningkatan signifikan insiden bersenjata di Iran. Namun, keputusan evakuasi baru diambil pada 19 Juni dan dilaksanakan keesokan harinya. Keterlambatan ini mengindikasikan perlunya sistem deteksi dini yang lebih responsif dan terintegrasi.
Jumlah WNI yang bersedia dievakuasi juga menjadi sorotan. Dari 578 WNI di Iran dan Israel, hanya sebagian kecil yang berpartisipasi dalam evakuasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas komunikasi pemerintah selama krisis. Apakah informasi yang disampaikan telah menjangkau seluruh WNI yang membutuhkan? Apakah pendampingan dan edukasi risiko telah diberikan secara memadai?
Mayoritas WNI di Iran dan Israel adalah pelajar dan mahasiswa yang menempuh pendidikan di kota-kota seperti Qom, Teheran, dan Yerusalem. Mereka seharusnya menjadi prioritas dalam perlindungan negara. Namun, informasi mengenai skema evakuasi belum tersampaikan secara merata, dan banyak mahasiswa yang mengandalkan komunikasi informal. Minimnya edukasi risiko yang terstruktur dan ketiadaan sistem peringatan dini berbasis teknologi memperkuat kesan bahwa kehadiran negara dalam krisis ini masih bersifat administratif dan belum sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan di lapangan.
Evakuasi dari Iran yang hanya bisa dilakukan melalui darat juga menimbulkan kekhawatiran. Rute darat dari Teheran ke Baku memiliki estimasi waktu 30 jam, bukan hanya panjang, tetapi juga berisiko tinggi secara keamanan. Ketergantungan pada negara ketiga sebagai titik transit menunjukkan perlunya skema evakuasi regional atau multinasional yang lebih andal. Negara-negara seperti Jepang atau Perancis telah membangun protokol evakuasi permanen di kawasan rawan, melalui kerja sama trilateral atau regional. Indonesia perlu mencontoh langkah ini untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi krisis di masa depan.
Langkah-langkah yang perlu diambil:
- Pengembangan Sistem Peringatan Dini: Pemerintah perlu membangun sistem peringatan dini berbasis teknologi yang terintegrasi dengan aplikasi seluler, lokasi GPS, dan kanal informasi resmi di semua perwakilan RI di luar negeri. Sistem ini memungkinkan peringatan real-time, koordinasi evakuasi, serta asesmen risiko secara individual terhadap WNI.
- Protokol Evakuasi Permanen: Kementerian Luar Negeri dan KBRI harus menyusun protokol evakuasi permanen di kawasan rawan, bekerja sama dengan ASEAN, OKI, atau PBB. Protokol ini harus mencakup rute darurat, pengamanan militer, logistik medis, dan pendampingan psikososial.
- Kemitraan dengan Diaspora: Pemerintah perlu menggandeng organisasi diaspora, seperti PPI dan komunitas profesional Indonesia di luar negeri, sebagai mitra aktif dalam merancang dan mensosialisasikan skema perlindungan WNI.
- Laporan Publik Tahunan: Perlu ada laporan publik tahunan mengenai upaya perlindungan WNI, termasuk simulasi, pelatihan, dan capaian program. Ini penting agar masyarakat tahu bahwa politik luar negeri bebas aktif tidak berhenti pada diplomasi formal, tetapi juga menyentuh aspek paling personal: keselamatan warga.
Evakuasi WNI dari Iran dan Israel adalah momentum untuk merefleksikan dan meningkatkan kesiapsiagaan Indonesia dalam melindungi warganya di seluruh dunia. Krisis global menuntut negara untuk bergerak dari reaksi ke antisipasi, dari operasional ke strategis, dan dari sekadar prosedur ke perlindungan yang visioner. Transformasi mendasar dalam arsitektur perlindungan WNI di luar negeri sangat diperlukan. Ini bukan hanya soal jalur darat atau udara, jumlah personel TNI atau anggaran logistik, melainkan soal bagaimana Indonesia mendefinisikan kembali politik luar negeri bebas aktif sebagai politik yang berpihak pada keselamatan warga, berbasis data, dan mampu merespons dunia yang tidak stabil secara cepat dan tepat.
Perhatian juga perlu diberikan pada kawasan lain yang berpotensi konflik, seperti Taiwan, tempat tinggal lebih dari 300.000 WNI, mayoritas pekerja migran. Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik langsung dengan Taiwan, sehingga tidak memiliki akses resmi dan instrumen perlindungan formal jika krisis meletus. Fakta ini menegaskan perlunya kebijakan perlindungan global yang terstruktur, sistematis, dan lintas batas diplomatik. Keberhasilan Indonesia dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya tidak lagi cukup diukur dari berapa WNI yang berhasil diselamatkan setelah krisis terjadi, tetapi dari seberapa siap dan tanggap negara dalam mencegah risiko sebelum nyawa terancam. Inilah tantangan besar politik luar negeri Indonesia ke depan: menjadikan perlindungan WNI sebagai prioritas strategis nasional.