Ekonomi Pulau Enggano Terpuruk, Warga Andalkan Barter dan Hasil Bumi Terancam Membusuk

Pulau Enggano Menjerit: Ekonomi Lumpuh, Barter Jadi Tumpuan

Pulau Enggano, sebuah wilayah di Provinsi Bengkulu, kini tengah menghadapi krisis ekonomi yang serius. Lebih dari 4.000 jiwa penduduknya berjuang di tengah situasi yang memprihatinkan, akibat terhambatnya pengangkutan hasil bumi mereka. Dampaknya, aktivitas ekonomi nyaris lumpuh, memaksa warga untuk bertahan hidup dengan cara barter.

Milson Kaitora, seorang tokoh masyarakat Enggano, mengungkapkan bahwa akar permasalahan terletak pada belum beroperasinya kapal yang memadai untuk mengangkut hasil pertanian warga. "Kehidupan ekonomi di sini boleh dibilang lumpuh total. Warung-warung sepi, bahkan ada rumah makan yang terpaksa tutup. Tidak ada aktivitas jual beli karena masyarakat tidak memiliki uang," ujarnya.

Sulitnya Distribusi Hasil Bumi

Meski layanan transportasi laut untuk penumpang sudah mulai beroperasi dengan adanya Kapal Ferry Pulo Tello, namun hal ini belum sepenuhnya mengatasi masalah. Mulyadi Kauno, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Enggano, menjelaskan bahwa petani yang memiliki modal terpaksa mengeluarkan biaya besar, antara 18 hingga 20 juta rupiah, untuk menyewa kapal nelayan agar hasil panen mereka, terutama pisang, dapat dikirim ke luar pulau. Sementara, bagi petani yang tidak mampu, hasil panen terpaksa dibiarkan membusuk di ladang.

"Petani menjadi enggan memanen, karena tidak ada jaminan hasil panen mereka dapat dijual," kata Mulyadi.

Ironisnya, meski ada kapal nelayan yang bersedia mengangkut, jumlahnya terbatas, maksimal 20 ton. Harga beli dari para tengkulak pun ditekan hingga 60 persen, dengan alasan untuk menutupi biaya operasional kapal. Kondisi ini membuat petani semakin merugi.

Barter Sebagai Solusi Bertahan Hidup

Di tengah kesulitan ekonomi yang melanda, warga Pulau Enggano kini mengandalkan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rahmawati, seorang ibu rumah tangga, menuturkan bahwa mereka menukar ikan seberat 1,5 kilogram dengan 1 kilogram beras. "Karena tidak ada uang, barter menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan kebutuhan pokok," ungkapnya.

Situasi ini memaksa para ibu rumah tangga untuk berhemat dalam penggunaan kebutuhan sehari-hari. Bahkan, beberapa keluarga terpaksa berutang di warung kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Iwan, seorang warga lainnya, mengaku menganggur karena hasil kebunnya tidak bisa dijual. Banyak kepala keluarga yang mengandalkan pendapatan dari hasil kebun seperti pisang, kopi, kakao, pinang, jantung pisang, daun pisang, dan melinjo, kini mengalami nasib serupa.

"Ada yang beralih menjadi kuli bangunan. Saya sendiri menjadi buruh proyek demi mendapatkan uang untuk keluarga," kata Iwan.

Ia juga kesulitan mengirimkan biaya kuliah untuk anaknya yang sedang menempuh pendidikan di Bengkulu. "Biasanya kami mengirim Rp 300.000 setiap dua minggu, namun kini sudah tidak mampu lagi. Anak saya terpaksa harus berhemat," ujarnya dengan nada sedih.

Harapan Masyarakat Enggano

Fahmi Arisandi, Ketua AMAN Wilayah Bengkulu, berharap pemerintah daerah dapat memberikan perhatian serius terhadap kondisi yang dialami warga Enggano. Menurutnya, solusi jangka panjang bukanlah sekadar memberikan bantuan beras, melainkan menghidupkan kembali ekonomi lokal dengan menyediakan kapal yang memadai untuk mengangkut hasil bumi.

"Cukup dengan menyediakan 10 kapal setiap keberangkatan, maka seluruh hasil pertanian dapat terangkut. Pemerintah pasti memiliki kemampuan untuk melakukan hal ini," kata Fahmi.

Ia menambahkan bahwa potensi pertanian di Enggano tidak hanya terbatas pada pisang, tetapi juga meliputi kelapa, kakao, pinang, melinjo, dan berbagai hasil bumi lainnya. Diperkirakan, kerugian akibat tidak terangkutnya hasil pertanian mencapai Rp 1,8 miliar per bulan.

AMAN dan masyarakat adat Enggano berharap pemerintah dapat segera mengambil langkah strategis untuk menyediakan kapal angkut yang memadai, sehingga ekonomi di Enggano dapat kembali pulih. "Biaya operasional kapal dapat disubsidi oleh pemerintah. Yang terpenting adalah adanya kemauan politik dari pemerintah daerah untuk membantu Enggano," pungkas Fahmi.