Konflik Iran-Israel Ancam Kestabilan Harga BBM Nasional: Proyeksi dan Mitigasi
Ancaman kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin nyata seiring dengan ketegangan yang berkelanjutan antara Iran dan Israel. Konflik yang belum mereda ini memicu kekhawatiran akan lonjakan harga minyak dunia, yang berpotensi berdampak langsung pada harga BBM di dalam negeri.
Proyeksi Harga Minyak Dunia
Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, memperkirakan bahwa harga minyak dunia dapat menembus angka US$ 100 per barel jika eskalasi konflik di Timur Tengah terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena kawasan tersebut merupakan rumah bagi banyak negara produsen minyak yang berpotensi terseret ke dalam konflik.
Iran, sebagai salah satu produsen minyak dan gas terbesar di dunia, memiliki peran krusial dalam stabilitas pasokan energi global. Jika Iran terlibat dalam perang, pasokan minyak dunia dapat terganggu, yang akan mendorong harga minyak melonjak. Fahmy juga menyoroti potensi keterlibatan negara-negara lain seperti Arab Saudi, Yordania, atau Irak, yang dapat semakin memperparah situasi dan meningkatkan harga minyak dunia.
Selain konflik langsung, ancaman terhadap Selat Hormuz, jalur logistik utama perdagangan minyak, juga menjadi perhatian utama. Jika Selat Hormuz terganggu akibat perang, pasokan minyak akan semakin berkurang, yang akan semakin mendorong kenaikan harga minyak.
Dampak pada Harga BBM di Indonesia
Kenaikan harga minyak dunia berpotensi besar memicu kenaikan harga BBM di Indonesia. Fahmy menjelaskan bahwa harga BBM non-subsidi, seperti Pertamax, akan menjadi yang pertama terpengaruh karena harganya mengikuti mekanisme pasar. Jika harga minyak dunia terus menguat, bukan tidak mungkin harga Pertamax dan jenis BBM non-subsidi lainnya akan mengalami kenaikan.
Mengenai BBM subsidi, seperti Pertalite, Fahmy menyarankan agar pemerintah tidak terburu-buru menaikkan harganya. Kenaikan harga BBM subsidi dapat memicu inflasi dan menekan daya beli masyarakat. Ia merekomendasikan agar pemerintah menahan harga BBM subsidi selama harga minyak mentah dunia masih berada di bawah US$ 100 per barel. Namun, jika harga minyak menembus angka tersebut, pemerintah mungkin perlu menaikkan harga BBM subsidi untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Analisis Ekonomi dan Saran Kebijakan
Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mencatat bahwa harga minyak saat ini masih berada di kisaran US$ 73-75 per barel, jauh di bawah asumsi makro dalam APBN 2025 sebesar US$ 82 per barel. Ia berpendapat bahwa pemerintah belum perlu menaikkan harga BBM subsidi selama harga minyak masih di bawah angka tersebut. Namun, jika harga minyak naik di atas US$ 82 per barel, ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kenaikan harga BBM subsidi.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menekankan bahwa peningkatan subsidi BBM dapat berdampak besar pada APBN, terutama jika penerimaan negara mengalami penurunan. Ia menyarankan agar pemerintah memantau situasi ini dengan cermat dan menyiapkan langkah-langkah mitigasi.
Bhima merekomendasikan agar pemerintah merevisi APBN untuk mengantisipasi fluktuasi harga minyak mentah. Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM subsidi terhadap tingkat kemiskinan, seperti memberikan tambahan bantuan sosial kepada masyarakat rentan dan miskin.
Penghematan penggunaan BBM subsidi juga dapat dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.