SETARA Institute Kritik Proyek Penulisan Ulang Sejarah: Diduga Bermotif Politik dan Mengabaikan Fakta
SETARA Institute melontarkan kritik pedas terhadap inisiatif penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah digagas oleh Kementerian Kebudayaan. Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyatakan kekhawatirannya bahwa proyek ini rentan terhadap manipulasi demi kepentingan politik penguasa dan berpotensi mendistorsi fakta sejarah sesuai dengan keinginan rezim yang berkuasa.
"Narasi yang selama ini dikemukakan terkait penulisan ulang sejarah Indonesia cenderung manipulatif dan sarat dengan sensasi," ujar Hendardi dalam keterangannya.
Proyek ambisius ini menargetkan penyelesaian sebelum peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80 pada 17 Agustus 2025. Namun, Hendardi menilai bahwa tenggat waktu yang terburu-buru ini tidak didasari oleh urgensi yang objektif. Ia mempertanyakan alasan mendesak yang membenarkan penyusunan ulang sejarah secara tergesa-gesa.
Kritik tajam Hendardi juga menyoroti pernyataan kontroversial terkait Tragedi Mei 1998. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak hanya menunjukkan kurangnya empati terhadap para korban, tetapi juga bertentangan dengan fakta-fakta yang telah diungkap oleh berbagai lembaga resmi negara dan organisasi masyarakat sipil.
Hendardi mendesak agar Kementerian Kebudayaan menarik kembali pernyataan tersebut dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada publik, terutama kepada para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.
Lebih lanjut, Hendardi mempertanyakan kompetensi Kementerian Kebudayaan dalam menyusun narasi sejarah nasional. Menurutnya, penyusunan materi sejarah seharusnya menjadi tanggung jawab kementerian yang berfokus pada pendidikan.
"Kementerian Kebudayaan tidak memiliki otoritas untuk menentukan narasi sejarah bangsa," tegasnya.
Ia berpendapat bahwa jika pemerintah memiliki niat baik untuk menyusun buku sejarah demi kepentingan pendidikan, maka koordinasi seharusnya dilakukan oleh Kementerian yang mengurusi pendidikan.
Hendardi menekankan bahwa penyusunan sejarah bangsa harus dilakukan secara inklusif dan partisipatif, dengan melibatkan berbagai pihak seperti:
- Akademisi
- Saksi sejarah
- Komunitas korban pelanggaran HAM
Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak menggunakan prinsip "sejarah ditulis oleh pemenang" untuk memanipulasi narasi masa lalu. Menurutnya, sejarah yang sehat harus mencerminkan kenyataan, termasuk tragedi dan luka bangsa.
"Pemerintah harus menunjukkan itikad untuk mengungkapkan kebenaran di balik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan saat ini, daripada secara instan menulis ulang sejarah sesuai dengan keinginan rezim," pungkasnya.