Bandara Kertajati: Antara Ambisi Metropolitan dan Realitas Sepi Penumpang

Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, sebuah proyek ambisius yang digadang-gadang menjadi penggerak ekonomi Jawa Barat, kini menjadi sorotan tajam. Investasi triliunan rupiah yang telah digelontorkan, termasuk biaya pembebasan lahan yang signifikan dari APBD Jawa Barat, tampak belum membuahkan hasil yang optimal. Kritikan pedas terkait lokasi bandara yang dianggap terlalu jauh dari pusat Kota Bandung terus bergema, mempertanyakan efektivitas dan keberlanjutan proyek ini.

Proyek ini, yang telah digagas sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, baru terealisasi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bahkan masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun, jarak tempuh dari Bandung, yang mencapai sekitar 98 kilometer melalui Tol Cisumdawu dengan waktu tempuh 1 hingga 2 jam, menjadi batu sandungan utama. Perbandingan dengan bandara lain seperti Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) dan Bandara Kualanamu di Deli Serdang, yang memiliki jarak lebih dekat ke pusat kota masing-masing, semakin memperkuat argumen mengenai lokasi yang kurang strategis.

Kendati demikian, pemerintah memiliki alasan kuat untuk tetap melanjutkan pembangunan Bandara Kertajati. Proyek ini merupakan bagian integral dari rencana pengembangan kawasan metropolitan Rebana, sebuah wilayah yang meliputi tujuh daerah: Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Subang, dan Sumedang. Rebana Metropolitan diproyeksikan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Barat bagian timur, dengan Kertajati sebagai aerocity, salah satu dari 13 kota industri baru yang akan dibangun di kawasan tersebut.

Rebana Metropolitan dirancang sebagai kawasan industri yang terintegrasi, inovatif, kolaboratif, berdaya saing tinggi, dan berkelanjutan. Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023, bahkan memprediksi bahwa Rebana Metropolitan akan menyumbang satu persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dukungan penuh dari pemerintah pusat diwujudkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Cirebon-Patimban-Kertajati, yang menjadi landasan hukum untuk intervensi infrastruktur di kawasan Rebana.

Namun, terlepas dari visi besar dan dukungan pemerintah, Bandara Kertajati masih berjuang untuk menarik minat penumpang. Dengan luas mencapai 1.800 hektare, dua runway, terminal penumpang seluas 121.000 meter persegi, dan terminal kargo seluas 90.000 meter persegi, bandara ini memiliki kapasitas yang sangat besar. Sayangnya, minimnya penerbangan membuat infrastruktur megah ini terkesan mubazir.

PT Bandarudara Internasional Jawa Barat (Perseroda) atau BIJB, sebagai pengelola bandara, harus menanggung kerugian yang signifikan. BIJB, sebuah BUMD yang saham mayoritasnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, awalnya memproyeksikan bandara ini dapat melayani hingga 12 juta penumpang per tahun pada tahun 2024, dan mencapai 29,3 juta penumpang per tahun pada tahun 2032. Namun, realitasnya jauh dari harapan. Pada tahun 2024, pergerakan penumpang dari dan menuju Bandara Kertajati hanya mencapai 413.240 penumpang, atau sekitar 3 persen dari target yang ditetapkan. Bahkan di tahun 2023, jumlah penumpang hanya tercatat sebesar 135.535 penumpang.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah Bandara Kertajati akan mampu mewujudkan potensi penuhnya sebagai penggerak ekonomi Jawa Barat, ataukah akan terus berjuang dengan realitas sepi penumpang? Masa depan bandara ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dan pengelola untuk menarik lebih banyak maskapai penerbangan dan mengembangkan konektivitas yang lebih baik dengan wilayah sekitarnya. Selain itu, keberhasilan Rebana Metropolitan sebagai kawasan industri yang terintegrasi juga akan menjadi kunci untuk meningkatkan daya tarik Bandara Kertajati sebagai pusat transportasi dan logistik.