Bandara Kertajati: Antara Harapan dan Realita 'Peuteuy Selong'
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, yang dulunya diproyeksikan sebagai kebanggaan infrastruktur dan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), kini menjadi sorotan tajam. Dedi Mulyadi, mantan Gubernur Jawa Barat, bahkan menyindir bandara ini dengan istilah "peuteuy selong", sebuah metafora dalam Bahasa Sunda yang menggambarkan pohon lamtoro besar namun kosong. Sindiran ini mencerminkan kondisi Kertajati yang sepi aktivitas penerbangan, meskipun telah menelan investasi triliunan rupiah.
Kondisi ini memicu perdebatan tentang efektivitas dan keberlanjutan bandara tersebut. Dulu, pembangunan Kertajati dimulai pada tahun 2015 dan selesai pada tahun 2017, dengan menghabiskan dana APBN melalui Kementerian Perhubungan dan APBD Provinsi Jawa Barat untuk pembebasan lahan. Bandara ini mulai beroperasi pada 24 Mei 2018. Total biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 2,6 triliun. Namun, alih-alih menjadi pusat penerbangan yang ramai, BIJB justru membebani keuangan daerah. Pemprov Jawa Barat dilaporkan harus menanggung defisit operasional hingga Rp 60 miliar setiap tahunnya.
Pemerintah pusat, melalui Kementerian Perhubungan, telah berupaya mencari solusi untuk mengoptimalkan Kertajati. Menteri Perhubungan sebelumnya, Dudy Purwagandhi, pernah menyatakan komitmennya untuk mengembangkan bandara ini sebagai bandara penumpang, pusat logistik, dan pusat perawatan pesawat. Beberapa strategi yang disiapkan meliputi:
- Optimalisasi lahan seluas 1.800 hektare dengan sistem transportasi terintegrasi.
- Pengembangan kawasan komersial terpadu.
- Pembangunan pusat logistik e-commerce seluas 68,4 hektare.
- Pendirian Kertajati Aircraft Maintenance Center (KAMC) untuk perawatan dan perbaikan pesawat.
Selain itu, pengelola bandara juga berupaya menarik maskapai dan penumpang dengan menawarkan berbagai insentif, seperti diskon dan promosi wisata. Kertajati juga diproyeksikan menjadi bandara pemberangkatan umrah dan haji. Namun, keberhasilan semua rencana ini sangat bergantung pada kepastian rute penerbangan yang stabil.
Kolumnis Nicholas Martua Siagian pernah mempertanyakan kelayakan Kertajati, yang menelan biaya besar namun berpotensi hanya menjadi bengkel pesawat. Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek-proyek besar agar tidak menjadi beban bagi keuangan negara.
Ke depan, diharapkan PSN di era pemerintahan mendatang dapat lebih transparan dan kredibel, dengan mekanisme check and balance yang kuat dari lembaga legislatif dan masyarakat sipil.