Volatilitas Bitcoin Meningkat: Sentimen Pasar Terpengaruh Data Inflasi AS dan Spekulasi Kebijakan The Fed
Harga Bitcoin mengalami fluktuasi signifikan, dipengaruhi oleh kombinasi faktor eksternal dan internal pasar. Meredanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China, yang sempat memberikan dorongan positif, kini dibayangi oleh kekhawatiran baru terkait data inflasi AS dan potensi kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed).
Sempat menyentuh level di bawah 108.000 dollar AS (sekitar Rp 1,78 miliar), Bitcoin mengalami koreksi setelah rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) AS untuk bulan Mei 2025 menunjukkan kenaikan inflasi tahunan menjadi 2,4 persen. Data ini memicu spekulasi di kalangan pelaku pasar bahwa The Fed mungkin menunda rencana pemangkasan suku bunga acuannya, yang sebelumnya diharapkan dapat memberikan stimulus bagi pasar kripto.
Sebelumnya, sentimen positif sempat mendorong harga Bitcoin menembus angka 110.000 dollar AS (sekitar Rp1,81 miliar), diikuti oleh kenaikan nilai altcoin seperti Ethereum yang mendekati level 3.000 dollar AS (sekitar Rp49,5 juta). Optimisme ini didorong oleh kesepakatan antara AS dan China untuk melanjutkan perundingan dagang setelah periode ketegangan tarif yang berlangsung selama dua bulan.
Saat ini, Bitcoin diperdagangkan di sekitar 107.594 dollar AS (sekitar Rp1,77 miliar), mencerminkan penurunan sekitar 2,3 persen dalam 24 jam terakhir. Analis dari Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menyatakan bahwa meskipun terjadi koreksi, posisi Bitcoin masih berada di atas rata-rata pergerakan kunci, yang mengindikasikan bahwa tren jangka menengah hingga panjang masih terjaga.
Data on-chain menunjukkan bahwa investor cenderung mengakumulasi Bitcoin, dengan arus keluar dari bursa yang tinggi, menandakan preferensi untuk penyimpanan aset jangka panjang. Tekanan beli ini diharapkan menjadi faktor penting dalam pemulihan harga Bitcoin.
Secara teknikal, Bitcoin memiliki potensi untuk menguji kembali level 110.000 dollar AS jika mampu bertahan di atas support kuat di 106.265 dollar AS (sekitar Rp1,75 miliar). Jika berhasil melewati batas tersebut dan mengonfirmasinya sebagai support baru, Bitcoin berpotensi melanjutkan penguatan menuju rekor tertinggi sepanjang masa di 111.980 dollar AS (sekitar Rp1,85 miliar).
Namun, risiko penurunan tetap ada jika tekanan makroekonomi meningkat. Jika Bitcoin turun di bawah 106.265 dollar AS, harganya bisa turun ke kisaran 105.000 dollar AS (Rp1,73 miliar), yang berpotensi mengubah proyeksi bullish dalam jangka pendek.
Di sisi lain, harapan terhadap potensi pemangkasan suku bunga acuan The Fed pada September 2025 masih ada. Data dari CME FedWatch menunjukkan probabilitas sebesar 57 persen bahwa The Fed akan memangkas suku bunga menjadi 4 persen–4,25 persen pada bulan tersebut. Penurunan inflasi yang berkelanjutan dan pelonggaran kebijakan moneter oleh The Fed dapat menjadi katalis positif bagi pasar kripto, termasuk Bitcoin.
Tekanan terhadap The Fed untuk menurunkan suku bunga juga datang dari internal pemerintahan AS, dengan Presiden Donald Trump dan Wakil Presiden JD Vance dilaporkan mendesak pemangkasan suku bunga sebesar 100 basis poin untuk mengurangi beban bunga atas utang negara.
Menyikapi volatilitas pasar, Tokocrypto menegaskan komitmennya untuk memperkuat sistem keamanan guna melindungi pengguna dari potensi risiko penipuan digital. Langkah-langkah yang diambil meliputi penggunaan teknologi autentikasi dua faktor (2FA) dan biometrik, serta kerja sama dengan mitra verifikasi identitas dan kepolisian.
Perwakilan Tokocrypto, Calvin, menyatakan bahwa kolaborasi dengan berbagai mitra dilakukan untuk mencegah, melacak, dan menindak akun-akun yang terlibat dalam praktik jual beli akun ilegal, sebagai upaya menjaga integritas dan keamanan ekosistem kripto.
Tokocrypto juga aktif mengkampanyekan literasi digital kepada publik guna mencegah penipuan daring dan edukasi terkait pentingnya menjaga data pribadi. Inisiatif ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem kripto yang sehat, aman, dan berkelanjutan di Indonesia.