Pemangkasan Anggaran LPSK: Ancaman terhadap Perlindungan Saksi dan Korban?
Pemangkasan Anggaran LPSK: Ancaman terhadap Perlindungan Saksi dan Korban?
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang memangkas anggaran sejumlah kementerian dan lembaga, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dari Rp 229 miliar menjadi Rp 85 miliar, telah menimbulkan gelombang kecemasan di kalangan saksi dan korban berbagai kasus pelanggaran HAM dan tindak pidana. Pemotongan anggaran yang signifikan ini menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya layanan perlindungan yang selama ini diberikan LPSK kepada para terlindungnya.
Kecemasan ini diungkapkan oleh berbagai pihak, mulai dari korban bom Bali hingga para penyintas peristiwa 1965. Chusnul, korban bom Bali 2002 yang menderita luka bakar 70 persen dan masih menanggung beban pengobatan hingga saat ini, mengungkapkan keprihatinannya melalui pesan singkat kepada Wakil Ketua LPSK. Jawaban Wakil Ketua LPSK yang terkesan meragukan kelanjutan bantuan pengobatannya telah membuat Chusnul putus asa dan bahkan sampai menyampaikan keinginannya untuk disuntik mati karena tidak mampu membiayai pengobatannya sendiri. Kondisi ekonomi Chusnul sebagai pedagang sayur keliling yang juga harus menanggung biaya pengobatan anaknya yang menderita Von Willebrand disease semakin memperparah situasi. Kisah Chusnul menggambarkan betapa krusialnya peran LPSK dalam memberikan dukungan bagi korban yang mengalami trauma fisik dan psikis yang berkepanjangan.
Bukan hanya Chusnul, para penyintas peristiwa 1965 juga merasakan kekhawatiran serupa. Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YKKP), Bedjo Untung, menyatakan bahwa banyak penyintas 1965 sangat bergantung pada bantuan LPSK untuk memenuhi kebutuhan psikososial, medis, dan finansial. Pemotongan anggaran ini dikhawatirkan akan memutus bantuan-bantuan tersebut yang selama ini sudah minim, bahkan sebelum pemotongan anggaran terjadi. Bedjo mengungkapkan adanya laporan penghentian bantuan di berbagai daerah. Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya peran LPSK bagi mereka yang telah mengalami penderitaan panjang dan memerlukan dukungan berkelanjutan.
Meskipun LPSK telah menyatakan bahwa anggaran telah direlaksasi menjadi Rp 107 miliar dan akan berupaya menjalin kerja sama dengan lembaga lain, serta melakukan penghematan operasional, sejumlah pihak tetap pesimis. Jumlah terlindung LPSK yang terus meningkat, dari 6.145 pada 2022 menjadi 8.162 pada 2023, dan berpotensi mencapai 10.000 lebih pada tahun ini, membuat anggaran tersebut diragukan kecukupan nya. Perhitungan kebutuhan anggaran untuk 8.162 terlindung saja telah mencapai Rp 296 miliar. Kekhawatiran akan minimnya perlindungan saksi dan korban tetap ada.
Plh Kepala Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza, menilai pemangkasan anggaran ini sebagai indikator kurangnya perhatian pemerintah terhadap pemenuhan hak asasi manusia. Ia menuding Presiden Prabowo Subianto kurang memperhatikan penegakan HAM dalam pidato-pidatonya. Pernyataan ini dibantah oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang mengklaim bahwa anggaran LPSK, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan justru ditambah. Pernyataan yang saling bertolak belakang ini semakin memperkeruh situasi dan menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara dalam hal perlindungan saksi dan korban.
Kesimpulannya, pemangkasan anggaran LPSK menimbulkan kontroversi dan kekhawatiran yang besar. Nasib saksi dan korban, khususnya mereka yang telah mengalami trauma berat dan membutuhkan dukungan jangka panjang, kini menjadi tanda tanya besar. Transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran serta komitmen pemerintah dalam melindungi hak asasi manusia perlu ditegaskan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih luas.