Paradoks Kemiskinan Indonesia: Antara Data Statistik dan Realita Kesejahteraan
Indonesia kerap kali membanggakan pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS). Data terbaru menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan menjadi 8,57 persen, atau sekitar 24,06 juta jiwa pada September 2024. Namun, laporan Bank Dunia pada Juni 2025, mengungkap kontradiksi yang mencolok. Bank Dunia mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 68,25 persen, atau sekitar 194,67 juta jiwa.
Perbedaan signifikan ini bukan sekadar anomali statistik, melainkan representasi dari perbedaan metodologi yang digunakan. Bank Dunia menggunakan standar garis kemiskinan yang disesuaikan dengan purchasing power parity (PPP) 2021, menetapkan batas untuk negara berpendapatan menengah atas sebesar 8,30 dollar AS per orang per hari. Pendekatan ini berakar pada basic needs theory dan capability theory yang menekankan pada kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar dan menjalani kehidupan yang bermakna.
BPS, di sisi lain, masih mengandalkan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN), yang menghitung kebutuhan makanan dan non-makanan berdasarkan pengeluaran aktual rumah tangga. Perbedaan ini menyoroti perlunya evaluasi komprehensif terhadap metode pengukuran kemiskinan yang digunakan di Indonesia.
Perubahan Paradigma dalam Pengukuran Kemiskinan
Perubahan dari PPP 2017 ke PPP 2021 memiliki implikasi global yang signifikan. Pembaruan ini tidak hanya meningkatkan ambang batas garis kemiskinan, tetapi juga mengungkap lapisan kemiskinan yang sebelumnya tidak terlihat. PPP, dalam konteks ini, mencerminkan theory of real income, yang menyatakan bahwa kesejahteraan ditentukan oleh kemampuan untuk mengakses barang dan jasa, bukan hanya oleh pendapatan nominal.
International Comparison Program melakukan pembaruan PPP pada Mei 2024, yang memberikan dasar yang lebih kuat bagi Bank Dunia untuk menyesuaikan garis kemiskinan global. Pendekatan capability yang dipelopori oleh Amartya Sen menekankan bahwa kemiskinan bukan hanya tentang kekurangan materi, tetapi juga tentang kurangnya kebebasan dan kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bernilai.
Multidimensional Poverty Index (MPI), yang dikembangkan oleh UNDP dan Oxford, mengukur kemiskinan berdasarkan akses terhadap pendidikan, kesehatan, air bersih, dan perumahan. Sayangnya, pengukuran kemiskinan di Indonesia masih sangat bergantung pada pengeluaran makanan dan non-makanan, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek penting lainnya.
Implikasi Kebijakan dan Perlindungan Sosial
Dengan meningkatnya garis kemiskinan internasional, Indonesia perlu menyusun ulang kerangka perlindungan sosialnya. Jika mayoritas penduduk Indonesia dianggap miskin menurut standar internasional, maka program bantuan dan subsidi harus diperluas cakupannya. Pendekatan vulnerability to poverty menjadi semakin relevan, yang menekankan perlunya memberikan bantuan kepada kelompok yang rentan jatuh miskin akibat guncangan ekonomi.
Ketimpangan informasi antara data Bank Dunia dan BPS menciptakan disonansi publik. Sinergi metodologis antara kedua lembaga ini sangat penting untuk memperkaya pemahaman dan kebijakan terkait kemiskinan. Mengukur kemiskinan tidak bisa lagi dilakukan dengan pendekatan minimalis. Indonesia perlu mengakui realitas yang ada dan bertindak dengan empati untuk memastikan bahwa kebijakan benar-benar menjangkau mereka yang membutuhkan.
Menuju Pengukuran yang Lebih Komprehensif
Pengukuran kemiskinan bukan hanya tentang angka, tetapi tentang nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Bank Dunia melakukan penyesuaian garis kemiskinan bukan untuk mempermalukan negara-negara berkembang, tetapi untuk mendorong transparansi dan keberanian dalam menghadapi tantangan pembangunan. Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengukur kemiskinan, yang mempertimbangkan berbagai dimensi kesejahteraan dan kerentanan.
Tantangan ini merupakan kesempatan untuk memperbaiki paradigma pembangunan nasional dan memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal. Dunia telah berubah, ukuran telah disesuaikan, dan kini saatnya bagi Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan dengan realitas yang ada.