Tragedi 1979: Pemberontakan Bersenjata Mengguncang Masjidil Haram
Pada tahun 1979, sebuah peristiwa mengguncang Makkah, Arab Saudi, ketika sekelompok pria bersenjata menduduki Masjidil Haram, tempat suci bagi umat Islam. Kejadian ini menjadi bagian dari sejarah kelam kota tersebut, menimbulkan ketegangan dan ketakutan di antara puluhan ribu jamaah yang hadir.
Peristiwa bermula pada tanggal 20 November 1979, setelah sholat Subuh. Seorang penceramah bernama Juhaiman al-Utaybi, yang dikenal karismatik, memimpin kelompoknya untuk mengambil alih masjid. Mereka merebut mikrofon dan mengumumkan kedatangan seorang Mahdi, sosok yang diyakini akan membawa keadilan di akhir zaman. Sosok yang dimaksud adalah Mohammed bin Abdullah al-Qahtani.
Kelompok Juhaiman telah mempersiapkan diri dengan menyembunyikan senjata di dalam peti mati yang diletakkan di halaman masjid. Setelah pengumuman tersebut, mereka membagikan senjata kepada para pengikutnya dan mulai menguasai area masjid. Juhaiman memerintahkan anggotanya untuk menutup gerbang dan menempatkan penembak jitu di menara-menara.
Seorang mahasiswa Mesir bernama Abdel Moneim Sultan, yang mengenal beberapa pengikut Juhaiman, merasa bingung dengan kejadian tersebut. Ia tidak percaya bahwa Al-Qur'an membenarkan tindakan kekerasan semacam itu. Sultan menggambarkan bahwa orang-orang terkejut dan ngeri melihat orang-orang bersenjata di dalam masjid.
Kelompok Juhaiman, yang dikenal sebagai al-Jamaa al-Salafiya al Muhtasiba (JSM), adalah kelompok Muslim Sunni ultra-konservatif yang kecewa dengan apa yang mereka anggap sebagai kemerosotan nilai-nilai sosial dan agama di Arab Saudi.
Menurut Usama al-Qusi, seorang siswa yang pernah menghadiri pertemuan dengan Juhaiman, Juhaiman adalah mantan penyelundup narkoba yang kemudian bertobat dan menjadi seorang pemimpin yang karismatik. Ia percaya bahwa Arab Saudi telah rusak dan hanya dipenuhi dengan kepentingan duniawi. Juhaiman menganggap Mohammad Bin Abdullah al-Qahtani sebagai Mahdi yang dijanjikan.
Al-Qahtani adalah seorang penceramah muda yang dikenal lembut dan bertata krama. Hubungan antara Juhaiman dan al-Qahtani semakin erat setelah kakak al-Qahtani menjadi istri kedua Juhaiman. Keduanya kemudian bersekutu untuk melakukan pemberontakan tersebut. Juhaiman, yang pernah menjadi tentara di Garda Nasional, memiliki keterampilan militer dan menyusun strategi pemberontakan bersenjata.
Pemberontakan Juhaiman berlangsung selama berhari-hari. Pasukan keamanan Arab Saudi, yang terdiri dari pasukan khusus dan pasukan terjun payung, menghadapi perlawanan sengit dari para pemberontak. Pemberontak membakar ban dan karpet untuk menciptakan asap tebal dan bersembunyi di balik tiang-tiang untuk menyergap pasukan Saudi.
Raja Khaled mengeluarkan perintah agar pasukan militer menggunakan segala cara untuk melumpuhkan para pemberontak. Rudal dan tank dikerahkan, tetapi tidak berhasil mengalahkan para pemberontak dengan cepat. Pemerintah Arab Saudi kemudian meminta bantuan Prancis untuk menyusun strategi yang tepat.
Tim penasihat militer Prancis menyarankan pasukan Saudi untuk menggunakan gas di ruang bawah tanah masjid. Lubang-lubang digali setiap 50 meter, dan gas disebarkan ke sudut-sudut tempat para pemberontak bersembunyi. Akhirnya, Juhaiman dan para pengikutnya menyerah.