Nelayan Cilincing Merana: Pukat Harimau Ancam Mata Pencaharian
Nasib Nelayan Tradisional Cilincing di Ujung Tanduk Akibat Pukat Harimau
Para nelayan tradisional di kawasan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, kini menghadapi masa-masa sulit. Penurunan drastis hasil tangkapan ikan menjadi momok yang menghantui mereka setiap kali melaut. Biang keladi dari permasalahan ini adalah penggunaan pukat harimau atau trawl yang semakin merajalela di perairan tempat mereka mencari nafkah.
Surya, seorang tokoh nelayan tradisional Kalibaru, mengungkapkan keprihatinannya atas situasi yang terjadi. Ia menjelaskan bahwa penggunaan pukat harimau oleh kapal-kapal besar telah mematikan mata pencaharian nelayan tradisional. Pukat harimau menyapu bersih segala jenis ikan, tanpa pandang bulu, sehingga nelayan tradisional yang mengandalkan peralatan sederhana semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan yang memadai.
Ironisnya, tidak hanya kapal-kapal besar yang menggunakan pukat harimau. Perahu-perahu kecil pun turut menggunakan alat tangkap serupa, meskipun dengan ukuran jaring yang lebih kecil. Alat tangkap ini dikenal dengan sebutan "arat". Penggunaan arat inilah yang seringkali memicu konflik antara nelayan tradisional dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
"Kadang mereka menebar jaring jam 5 sore, padahal seharusnya sudah berhenti beroperasi. Tapi mereka masih saja menarik jaringnya," keluh Surya.
Ruang gerak nelayan tradisional semakin sempit. Mereka kesulitan mencari ikan maupun rajungan karena perairan telah dieksploitasi secara berlebihan oleh pukat harimau dan arat. Tak jarang, jaring-jaring nelayan tradisional menjadi korban keganasan arat. Jaring-jaring tersebut dipotong hingga hanyut, sehingga nelayan mengalami kerugian yang tidak sedikit.
"Bagaimana nelayan tradisional tidak merugi? Sedikit saja dapat ikan, kadang jaring kami terkena arat, dipotong, hanyut, hilang lagi," imbuh Surya dengan nada prihatin.
Jika tertangkap tangan, para nelayan yang jaringnya dirusak biasanya meminta ganti rugi kepada pihak yang menggunakan arat. Namun, seringkali pelaku perusakan tidak ketahuan, sehingga jaring nelayan hilang dan rusak begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban.
Kerugian akibat kerusakan jaring ini sangat memberatkan nelayan tradisional. Untuk membeli satu jaring baru, mereka harus mengeluarkan uang sekitar Rp 1,5 juta. Jumlah ini tentu tidak sedikit bagi nelayan yang penghasilannya semakin hari semakin menurun.
Kondisi ini membuat para nelayan tradisional Cilincing semakin terpuruk. Mereka berharap pemerintah dan pihak terkait dapat bertindak tegas untuk menertibkan penggunaan pukat harimau dan arat, serta memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional agar mereka dapat terus melaut dan menghidupi keluarganya.