Polemik Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Antara Objektivitas dan Narasi Positif
Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Mencari Titik Tengah Antara Objektivitas dan Perspektif Positif
Gagasan untuk menulis ulang sejarah Indonesia dengan menekankan aspek positif menuai berbagai tanggapan. Inisiatif ini bertujuan untuk memberikan perspektif baru terhadap peristiwa masa lalu, dengan fokus pada pencapaian bangsa dan semangat persatuan. Namun, muncul kekhawatiran bahwa pendekatan ini dapat mengaburkan catatan kelam sejarah, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, yang seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang.
Dukungan dan Argumen yang Mendasari
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menyampaikan bahwa penulisan ulang sejarah ini bukan bertujuan untuk mencari-cari kesalahan di masa lalu, melainkan untuk membangun narasi yang lebih positif dan Indonesia-sentris. Tujuannya adalah untuk mengurangi bias kolonial dan memperkuat identitas nasional. Perspektif ini menekankan pentingnya belajar dari kesuksesan para pendahulu untuk menginspirasi generasi penerus.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, mendukung gagasan tersebut, dengan catatan bahwa penulisan sejarah harus tetap faktual dan apa adanya. Menurutnya, "tone positif" berarti menyajikan fakta sejarah secara komprehensif, termasuk suka dan duka perjalanan bangsa, tanpa bermaksud mempositifkan semua peristiwa. Ia menekankan pentingnya mengungkap kebenaran peristiwa sebagai wujud keadilan.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Al Muzzammil Yusuf, juga memberikan dukungan, asalkan penulisan ulang sejarah dilakukan secara obyektif, proporsional, dan faktual. Ia meyakini bahwa latar belakang Fadli Zon sebagai ahli sastra dan Menteri Kebudayaan akan menjamin proses penulisan dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan melibatkan berbagai pakar.
Kritik dan Kekhawatiran yang Muncul
Di sisi lain, Anggota Komisi X DPR Fraksi PDI-P, Bonnie Triyana, mengingatkan agar penulisan sejarah mencakup semua sisi, termasuk kesalahan-kesalahan di masa lalu. Menurutnya, mengabaikan sisi gelap sejarah berpotensi menghasilkan karya sejarah yang tidak akurat dan kehilangan nilai pembelajaran. Ia menekankan pentingnya memasukkan berbagai perspektif agar generasi muda dapat belajar secara komprehensif.
Bonnie Triyana juga menyoroti isu terkait hanya dua kasus pelanggaran HAM berat yang dimasukkan dalam term of reference (TOR) sejarah. Ia menegaskan bahwa tidak boleh ada sensor atau seleksi dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM di masa lalu, karena memori kolektif bangsa harus mencerminkan seluruh peristiwa yang terjadi.
Penjelasan dari Kalangan Sejarawan
Sejarawan Singgih Tri Sulistoyono, yang terlibat dalam penulisan ulang sejarah nasional, menjelaskan bahwa narasi positif bertujuan agar penulisan sejarah tidak terkesan menghakimi atau dipenuhi kebencian. Ia menekankan bahwa penulisan sejarah tetap harus mengikuti dinamika yang terjadi, termasuk peristiwa baik dan buruk yang mewarnai perjalanan bangsa.
Singgih Tri Sulistoyono menambahkan bahwa pemerintah ingin menonjolkan pencapaian para pemimpin, namun tidak mengabaikan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Ia meyakinkan bahwa hal-hal buruk akan tetap ditulis dalam kerangka dinamika dan romantika perjalanan hidup bersama sebagai bangsa, yang bisa menjadi pelajaran bersama.
Mencari Keseimbangan
Perdebatan mengenai penulisan ulang sejarah Indonesia ini menyoroti kompleksitas dalam menyajikan narasi masa lalu. Penting untuk menemukan keseimbangan antara menyoroti pencapaian bangsa dan mengakui kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Penulisan sejarah yang obyektif, faktual, dan inklusif akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang identitas dan perjalanan bangsa, serta menjadi bekal berharga bagi generasi mendatang.
Dengan demikian, penulisan ulang sejarah Indonesia dengan "tone" positif menjadi sebuah wacana yang kompleks dan memerlukan kehati-hatian. Objektivitas, inklusivitas, dan kejujuran dalam menyampaikan fakta sejarah menjadi kunci utama agar penulisan ulang ini benar-benar bermanfaat bagi bangsa dan negara.