Jerat Algoritma: Mengupas Fenomena 'Italian Brainrot' dan Pengaruhnya pada Budaya Digital

Algoritma Media Sosial: Dalang di Balik Tren 'Italian Brainrot'?

Popularitas TikTok sebagai platform video pendek telah meroket, menjadikannya primadona di kalangan remaja di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Meskipun menawarkan hiburan dan peluang ekonomi digital, TikTok juga tidak luput dari konten yang berpotensi menimbulkan efek negatif atau yang dikenal dengan istilah brainrot.

Istilah brainrot, yang bahkan dinobatkan sebagai pilihan kata oleh Oxford pada tahun 2024, merujuk pada dampak buruk konsumsi konten daring berkualitas rendah secara berlebihan, terutama di media sosial. Awal tahun 2025 ini, tren Italian Brainrot mencuat di TikTok dan dikaitkan dengan fenomena brainrot tersebut. Italian Brainrot adalah konten absurd yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan, menampilkan karakter surealis dengan narasi berbahasa Italia yang tidak bermakna.

Asal usul Italian Brainrot bermula dari humor ringan dengan suara robot AI yang melantunkan "tralalero tralala". Suara ini kemudian dikembangkan dan dipadukan dengan visual surealis, seperti hiu berkaki sepatu. Di Indonesia, Italian Brainrot terwujud dalam karakter "Tung Tung Tung Sahur", yang oleh warganet dianggap sebagai makhluk anomali yang muncul ketika anak-anak sulit dibangunkan untuk sahur.

Di balik kesederhanaan dan hiburan yang ditawarkan, tren ini mengungkap pola pembentukan perilaku konsumen yang perlu dikritisi. Kritikan ini terutama ditujukan pada besarnya pengaruh algoritma media sosial terhadap kebiasaan konsumsi konten dan preferensi budaya generasi muda. Algoritma media sosial, seperti yang digunakan oleh TikTok, bukan sekadar alat teknis. Ia memiliki kekuatan untuk memengaruhi psikologi dan bahkan ideologi.

Algoritma Membentuk Realitas

Algoritma membentuk realitas sosial dengan menyeleksi dan mengurutkan informasi berdasarkan prinsip-prinsip komersial yang tidak transparan. Konten yang dianggap menarik perhatian dan memicu interaksi akan lebih sering ditampilkan, tanpa mempertimbangkan nilai edukatif atau keberagamannya. For You Page (FYP) di TikTok, yang seharusnya mempersonalisasi pengalaman pengguna, justru dapat menjebak pengguna dalam filter bubble, mempersempit pandangan mereka.

Kondisi ini, jika tidak diwaspadai, dapat menyebabkan brainrot yang secara sosial tidak sehat. Algoritma tidak hanya mencerminkan preferensi pengguna, tetapi juga secara aktif membentuk dan membatasi preferensi mereka. Akibatnya, generasi muda berpotensi tumbuh dalam ekosistem digital yang homogen dan dikurasi untuk kepentingan ekonomi platform. Jangka panjangnya, hal ini dapat menghambat kemampuan berpikir kritis dan mempersempit wawasan budaya mereka.

Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa tren seperti Italian Brainrot berfungsi sebagai instrumen ideologis yang memperkuat dominasi kapitalisme digital atas ruang budaya. TikTok, sebagai platform berbasis algoritma, berperan aktif dalam menentukan narasi budaya yang dianggap layak diperhatikan. Abainya pemangku kepentingan terhadap dampak luas platform ini akan menjadi masalah besar.

Strategi Sistematis Pengalihan Perhatian

Tren Italian Brainrot bukanlah fenomena yang terjadi secara acak. Ia dikurasi, dibentuk, dan disebarluaskan oleh sistem algoritmik yang didorong oleh kepentingan komersial. Tren ini menjadi bagian dari strategi sistematis untuk mengalihkan perhatian publik dari konten yang reflektif dan kritis, menggantinya dengan konten viral, mudah diakses, dan menguntungkan secara ekonomi bagi platform.

Platform digital telah mengubah struktur komunikasi publik dengan memadukan logika ekonomi pasar dengan algoritma dan infrastruktur teknologi, memungkinkan kendali halus namun kuat atas pengalaman pengguna. Platform seperti TikTok sangat bergantung pada eksploitasi data pengguna, sehingga mereka terus mengoptimalkan algoritma untuk menjaga pengguna tetap aktif. Semakin lama pengguna bertahan, semakin besar keuntungan yang diperoleh melalui monetisasi data dan iklan.

Italian Brainrot hanyalah contoh bagaimana algoritma mengarahkan perhatian pengguna pada jenis konten tertentu, menciptakan siklus konsumsi yang repetitif. Platform seperti TikTok tidaklah netral; mereka memiliki kekuatan besar dalam menentukan tren, selera, dan preferensi pengguna. Praktik bisnis kapitalisme digital ini menggunakan konten yang tampak lucu dan menghibur sebagai media untuk meningkatkan profit platform, yang secara tidak langsung dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis pengguna muda karena terbiasa menerima konten homogen.

Perlindungan Pengguna Media Sosial

Tagar #ItalianBrainrot mencatatkan ratusan juta tampilan dalam waktu singkat, menunjukkan besarnya pengaruh tren tersebut. Oleh karena itu, penting untuk melihat Italian Brainrot sebagai pengingat akan perlunya perlindungan terhadap pengguna media sosial. Konten yang disajikan tidak lagi sekadar hiburan, tetapi telah menjadi alat efektif bagi platform untuk mengontrol konsumsi konten.

Beberapa langkah penting perlu diambil. Pertama, menyadari bahwa pilihan kita dalam mengonsumsi konten sering kali merupakan hasil rekayasa algoritmik. Kedua, memahami konsekuensi serius dari kebiasaan konsumsi konten yang monoton, yaitu hilangnya diversifikasi berpikir dan penurunan kemampuan kritis generasi muda. Kesadaran kritis terhadap cara kerja platform digital sangat diperlukan. Generasi muda perlu memahami bahwa di balik konten yang lucu dan menarik, terdapat strategi bisnis yang sengaja dirancang untuk mempertahankan pengguna demi keuntungan ekonomi semata.

Ketiga, menekankan pentingnya edukasi digital yang lebih mendalam, termasuk pemahaman tentang cara kerja algoritma. Hal ini penting agar pengguna dapat menggunakan media sosial secara bijak dan sadar.

Italian Brainrot bukan hanya tentang Italia atau humor semata. Ini adalah peringatan tentang bagaimana algoritma dapat mengontrol budaya dan perilaku kita di era digital. Sebagai pengguna media sosial, kita ditantang untuk lebih kritis, sadar, dan selektif dalam mengonsumsi konten yang tersedia, agar tidak terjebak dalam siklus konsumsi yang sempit dan manipulatif. Negara juga harus mencermati dan menyikapi tren ini dengan baik, terutama dalam menjaga generasi muda agar tidak larut dalam budaya yang sulit dipahami, yang dapat berdampak pada kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.