Gelombang PHK Resahkan, Komnas HAM Terima Ratusan Aduan dengan Ribuan Pekerja Terdampak
Komnas HAM Soroti Maraknya PHK dan Dampaknya Terhadap Hak Asasi Pekerja
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan keprihatinannya atas maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi dalam kurun waktu Januari 2023 hingga Maret 2025. Lembaga tersebut mencatat telah menerima 134 pengaduan dari masyarakat terkait PHK, yang berdampak pada 8.786 pekerja.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Atnike Nova Sigiro, dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, menyampaikan bahwa aduan yang masuk mengindikasikan adanya berbagai persoalan dalam proses PHK yang dilakukan oleh perusahaan. Berdasarkan pengaduan dan hasil pemantauan, Komnas HAM menemukan setidaknya 10 tipologi atau pengelompokan alasan yang mendasari tindakan PHK tersebut.
Salah satu temuan yang menonjol adalah praktik PHK yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang seharusnya, seperti pemberian Surat Peringatan (SP) terlebih dahulu. Komisioner Pengkajian & Penelitian Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, menjelaskan bahwa pekerja seringkali tidak mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai alasan PHK, terutama terkait pelanggaran mendesak atau tindakan yang dianggap merugikan perusahaan.
Praktik PHK yang tidak sesuai dengan aturan ini mengakibatkan pekerja kehilangan hak-haknya, seperti pesangon. Selain itu, Komnas HAM juga menemukan bahwa PHK kerap terjadi pada pekerja yang menerima upah di bawah standar. Dalam kondisi tersebut, perusahaan cenderung melakukan PHK secara sewenang-wenang ketika tidak lagi membutuhkan karyawan.
Ironisnya, banyak pekerja yang terpaksa menerima tawaran pekerjaan dengan upah di bawah standar karena terdesak kebutuhan ekonomi. Kondisi ini membuat mereka semakin rentan terhadap praktik PHK yang tidak adil.
Komnas HAM juga menyoroti kasus PHK yang menimpa pekerja yang tidak memiliki kontrak kerja yang jelas. Ketiadaan kontrak ini membuat perusahaan leluasa melakukan PHK secara verbal, sehingga menyulitkan pekerja dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Lebih lanjut, pemantauan Komnas HAM menunjukkan bahwa PHK seringkali menyasar kelompok pekerja tertentu, seperti anggota serikat pekerja. Fenomena Union Busting, atau upaya pemberangusan serikat pekerja, menjadi salah satu indikasi dari PHK yang menargetkan pengurus atau anggota serikat pekerja.
Beberapa pola lain yang ditemukan mengindikasikan bahwa karyawan rentan terhadap kekuasaan perusahaan. Misalnya, pemindahan tugas yang menyulitkan karyawan untuk bertahan, atau PHK yang dilakukan secara mendadak tanpa memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mempersiapkan diri.
Faktor efisiensi juga menjadi alasan umum yang digunakan perusahaan untuk melakukan PHK, terutama dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Menanggapi permasalahan PHK yang semakin marak, Komnas HAM mendesak pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang lebih berpihak pada hak asasi manusia (HAM). Komnas HAM menilai bahwa banyak kebijakan pemerintah, seperti kebijakan impor dan efisiensi anggaran, yang seringkali berujung pada PHK massal karena tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM secara matang.
Komnas HAM menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pekerjaan secara progresif. Untuk itu, Komnas HAM mendorong pemerintah dan sektor bisnis untuk menerapkan panduan PBB mengenai bisnis dan HAM dalam setiap kebijakan dan praktik yang dijalankan.
Pola PHK yang Ditemukan Komnas HAM:
- PHK tanpa Surat Peringatan (SP)
- PHK dengan alasan tidak jelas
- PHK pada pekerja dengan upah di bawah standar
- PHK pada pekerja tanpa kontrak kerja
- PHK yang menyasar anggota serikat pekerja (Union Busting)
- Pemindahan tugas yang menyulitkan karyawan
- PHK mendadak
- PHK dengan alasan efisiensi
- PHK akibat kebijakan pemerintah yang tidak mempertimbangkan HAM
Komnas HAM terus mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan aspek HAM dalam setiap kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan guna melindungi hak-hak pekerja dan mencegah terjadinya PHK yang tidak adil.