Penurunan Signifikan Penumpang Bus di Awal 2025: Industri Transportasi Darat Menghadapi Tantangan Berat
Penurunan Okupansi Bus Mencapai 22 Persen di Tengah Libur Nasional
Industri transportasi bus di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam jumlah penumpang pada semester pertama tahun 2025. Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI), Kurnia Lesani Adnan, mengungkapkan bahwa penurunan okupansi bus mencapai 22 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2024. Fenomena ini dianggap anomali mengingat banyaknya hari libur nasional yang seharusnya menjadi pendorong peningkatan jumlah penumpang.
"Perbandingan antara tahun 2024 dan 2025 menunjukkan penurunan yang cukup tajam hingga 22 persen. Kami melihat ini sebagai indikasi yang tidak biasa, terutama dengan adanya beberapa libur panjang yang ternyata tidak memicu lonjakan berarti pada penumpang bus, baik untuk Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP), maupun bus pariwisata," ujar Kurnia Lesani Adnan.
Ketidakadilan Stimulus Pemerintah Picu Penurunan
Kurnia Lesani Adnan juga menyoroti ketidakadilan dalam pemberian stimulus oleh pemerintah selama musim mudik Lebaran 2025. Stimulus hanya diberikan kepada moda transportasi kereta api (diskon 30 persen), angkutan udara (diskon 6 persen), dan angkutan laut (diskon 50 persen). Selain itu, pemerintah juga memberikan diskon tarif tol sebesar 20 persen untuk kendaraan pribadi. Sementara itu, transportasi bus tidak mendapatkan stimulus serupa, yang mengakibatkan kenaikan harga tiket bus dan mengurangi minat masyarakat untuk menggunakan transportasi ini.
Menurutnya, kebijakan ini menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap pengguna transportasi umum berbasis jalan raya dan tidak mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi massal. Padahal, pengusaha bus menghadapi berbagai tantangan dan beban operasional yang signifikan.
Beban Operasional dan Persaingan Tidak Sehat
Kurnia Lesani Adnan menambahkan bahwa pengusaha bus masih menghadapi berbagai masalah operasional, termasuk kebijakan penjatahan Bahan Bakar Minyak (BBM) solar subsidi dengan batasan maksimal 200 liter per hari per kendaraan menggunakan barcode. Kebijakan ini seringkali menimbulkan dinamika yang menghambat operasional angkutan darat.
Selain masalah BBM, pengusaha bus juga dibebani dengan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk angkutan umum yang naik signifikan, dari sebelumnya 30 persen menjadi 100 persen. Persaingan dengan angkutan ilegal atau tidak berizin juga menjadi tantangan serius bagi pengusaha bus.
"Kami sudah meminta kepada pemangku kebijakan terkait tarif tol khusus untuk angkutan umum melalui DPP Organda, namun hingga saat ini belum ada respons yang positif," ungkap Kurnia Lesani Adnan.
Daftar Tantangan Industri Bus:
- Penurunan Okupansi Penumpang
- Ketidakadilan Stimulus Pemerintah
- Penjatahan BBM Solar Subsidi
- Kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
- Persaingan dengan Angkutan Ilegal
- Tidak Ada Tarif Tol Khusus untuk Angkutan Umum
Kondisi ini menggambarkan betapa beratnya tantangan yang dihadapi oleh industri transportasi bus di Indonesia. Pemerintah diharapkan dapat memberikan perhatian lebih dan mengambil langkah-langkah yang lebih adil dan mendukung untuk keberlangsungan industri transportasi bus yang merupakan bagian penting dari sistem transportasi nasional.