Polemik Ganti Rugi Pasca-Pembongkaran Wisata Hibisc Fantasy: Tanggung Jawab Hukum dan Bisnis dipertanyakan

Polemik Ganti Rugi Pasca-Pembongkaran Wisata Hibisc Fantasy: Tanggung Jawab Hukum dan Bisnis dipertanyakan

Penutupan dan pembongkaran objek wisata Hibisc Fantasy di kawasan Puncak, Bogor, pada Kamis (6/3/2025) lalu, menimbulkan pertanyaan besar terkait mekanisme ganti rugi kepada para investor. Proyek yang dikelola oleh PT Jaswita Lestari Jaya (JLJ), anak perusahaan PT Jaswita Jabar, dan melibatkan sejumlah mitra, termasuk PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, ini terbukti melanggar aturan alih fungsi lahan dan diduga menjadi salah satu penyebab banjir yang melanda daerah tersebut. Direktur PT Jaswita, Wahyu Nugroho, dalam keterangannya Senin (10/3/2025), menyatakan bahwa mitra-mitra bisnis yang juga berperan sebagai investor seharusnya telah mempertimbangkan risiko tersebut. Pernyataan ini menimbulkan perdebatan mengenai sejauh mana tanggung jawab perusahaan terhadap kerugian yang dialami para investor.

"Mitra yang bekerja sama dengan JLJ adalah investor sekaligus operator Hibisc. Sehingga seharusnya mitra memahami kondisi saat ini," ujar Wahyu singkat, seraya menambahkan bahwa JLJ dan mitranya telah menjalankan program tanggung jawab sosial pasca-bencana. Namun, detail program tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam evaluasi internal perusahaan. Sikap ini dinilai ambigu oleh beberapa pihak, mengingat besarnya investasi yang telah dikeluarkan para mitra dan ketidakpastian hukum yang muncul akibat pembongkaran tersebut. Ketidakjelasan mekanisme ganti rugi tersebut juga memicu pertanyaan mengenai transparansi dan perjanjian kerjasama yang terjalin antara PT Jaswita Lestari Jaya dan para investornya.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pada Jumat (7/3/2025) turut menyoroti permasalahan ganti rugi ini. Beliau menekankan bahwa PT Jaswita Jabar sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memiliki peran penting dalam permasalahan ini. Meskipun Pemprov Jabar secara hukum tidak terlibat dalam perizinan proyek tersebut, Gubernur menyoroti risiko finansial yang ditanggung para investor akibat pelanggaran aturan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. "Risiko yang harus ditanggung dari pembangunan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pengelolaan lingkungan hidup itu yang menimbulkan dugaan terjadinya banjir dan kematian akibat banjir, itu merupakan risiko yang harus ditanggung perusahaan," tegas Dedi Mulyadi.

Gubernur juga menjelaskan bahwa mekanisme ganti rugi, jika ada, akan bergantung pada perjanjian yang disepakati antara PT Jaswita Lestari Jaya dan para investor sebelum proyek dimulai. Ketiadaan Gubernur pada pertemuan dengan direksi PT Jaswita semakin memperkuat ketidakjelasan mengenai solusi yang akan ditawarkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi sengketa hukum antara perusahaan dan para investor di kemudian hari. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga mengenai pentingnya kehati-hatian dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan aspek lingkungan dan perizinan.

Lebih lanjut, kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan perjanjian yang jelas antara perusahaan dengan investor, termasuk klausul yang mengatur risiko-risiko seperti bencana alam atau pelanggaran hukum. Ketidakjelasan mekanisme ganti rugi ini berpotensi menimbulkan masalah hukum dan ketidakpercayaan investor terhadap proyek-proyek serupa di masa mendatang. Pemerintah daerah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali. Langkah-langkah ini penting untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan berkelanjutan di Jawa Barat.

Pertanyaan yang belum terjawab: * Apa isi perjanjian antara PT Jaswita Lestari Jaya dan para investor terkait risiko kerugian? * Apa langkah konkrit yang akan diambil PT Jaswita Jabar untuk menyelesaikan permasalahan ganti rugi? * Bagaimana mekanisme pengawasan proyek pembangunan di Jawa Barat akan diperkuat untuk mencegah kasus serupa?