Pemerintah Kaji Ulang Luas Minimum Rumah Subsidi, Pengembang Ungkap Kekhawatiran
Pemerintah tengah mempertimbangkan perubahan signifikan terkait luas lahan dan bangunan untuk rumah subsidi. Wacana ini tertuang dalam draf aturan terbaru, yaitu Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, yang membahas batasan luas lahan, luas lantai, harga jual, serta besaran subsidi uang muka perumahan dalam program Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Saat ini, regulasi yang berlaku mengenai luas bangunan dan tanah rumah subsidi tercantum dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 995/KPTS/M/2021 Tahun 2021. Kepmen ini mengatur batasan penghasilan, suku bunga/marjin pembiayaan bersubsidi, masa subsidi, jangka waktu kredit/pembiayaan, luas tanah, luas lantai, harga jual rumah umum tapak dan satuan rumah susun umum, serta besaran subsidi uang muka.
Dalam Kepmen 995/KPTS/M/2021, luas tanah minimal untuk rumah tapak ditetapkan 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi. Sementara luas bangunan rumah subsidi minimal 21 meter persegi dan maksimal 36 meter persegi. Khusus untuk wilayah Jabodetabek, tipe 21/60 menjadi pilihan karena keterbatasan lahan dan harga yang tinggi.
Penjelasan Kementerian PKP
Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, Sri Haryati, menjelaskan bahwa aturan baru ini masih dalam tahap pembahasan dan uji coba. "Kami akan meminta masukan dan membahasnya kembali. Ada regulasi lain yang perlu disesuaikan jika aturan ini diterapkan," ujarnya.
Sri Haryati belum dapat memastikan kapan aturan baru ini akan diberlakukan. Ia menjelaskan bahwa penurunan luas rumah subsidi menjadi 18 meter persegi bertujuan untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat. Rumah seluas 18 meter persegi dinilai layak untuk individu lajang, mengingat kebutuhan ruang per orang adalah sekitar 9 meter persegi.
"Kami melihat adanya kebutuhan masyarakat lajang. Aturan yang ada menyebutkan kebutuhan ruang per orang adalah 9 meter persegi," jelasnya. Selain itu, ketersediaan lahan di perkotaan semakin terbatas. Dengan ukuran yang lebih kecil, diharapkan masyarakat berpenghasilan rendah dapat membeli rumah di lokasi strategis dekat pusat kota.
Tanggapan Pengembang
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Junaidi Abdillah, meragukan kelayakan rumah subsidi dengan luas yang lebih kecil. Ia menilai rumah dengan luas 25 meter persegi kurang manusiawi, terutama bagi keluarga dengan empat anggota atau lebih.
"Jika tanah hanya 25 meter persegi, MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) akan kesulitan memperluas bangunan, kecuali dengan menambah lantai. Namun, biaya konstruksi lantai 2 mahal, yang berpotensi memunculkan MBR 'topengan' yang memanfaatkan program ini," ungkap Junaidi.
Ia menambahkan bahwa rumah subsidi yang terlalu kecil dapat memicu munculnya kawasan kumuh. Selain itu, rumah berukuran 18 meter persegi hanya cocok untuk individu lajang dan tidak ideal untuk keluarga. Kesulitan dalam memperluas bangunan juga menjadi perhatian utama. Junaidi juga mengkhawatirkan potensi kecurangan penjualan oleh pengembang.
Lebih lanjut, Junaidi menekankan bahwa ukuran 18 meter persegi tidak cocok untuk semua daerah, melainkan hanya untuk kota-kota besar. Ia berpendapat bahwa ukuran tersebut lebih ideal untuk apartemen, kontrakan, rumah singgah, atau kos, yang sifatnya sementara, bukan untuk hunian jangka panjang.
Berikut poin poin penting yang menjadi perhatian:
- Luas lahan dan bangunan rumah subsidi diperkecil
- Aturan tertuang dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025
- Luas bangunan rumah subsidi menjadi 18 meter persegi
- Tanggapan pengembang tentang kelayakan rumah subsidi