Revisi UU Pemindahan Narapidana: Menko Yusril Jelaskan Perkembangan Terkini dan Implikasinya

Revisi UU Pemindahan Narapidana: Menko Yusril Jelaskan Perkembangan Terkini dan Implikasinya

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memberikan klarifikasi mengenai perkembangan terkini terkait Undang-Undang (UU) Pemindahan Narapidana. Ia menjelaskan bahwa kerangka hukum untuk regulasi ini sebenarnya telah disusun sejak dua tahun lalu, bertujuan untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi proses pertukaran dan pemindahan narapidana, melampaui sekadar diskresi presidensial. Langkah ini, menurut Yusril, sangat krusial untuk melindungi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, serta memperkuat hubungan bilateral dengan negara lain.

Dua draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemindahan dan Pertukaran Narapidana, lengkap dengan naskah akademiknya, telah disiapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebelumnya. Kendati demikian, proses finalisasi dan pengajuan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) belum sempat terlaksana. Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, Yusril menjelaskan bahwa draf tersebut tengah dikaji ulang secara komprehensif, dengan mempertimbangkan dinamika hukum dan diplomasi internasional terkini. Proses penyempurnaan ini bertujuan untuk memastikan UU tersebut selaras dengan perkembangan hukum dan praktik internasional yang relevan.

Salah satu poin penting yang menjadi fokus revisi adalah ketentuan mengenai pemindahan narapidana asing yang dijatuhi hukuman mati. Draf sebelumnya melarang pemindahan narapidana yang dihukum mati ke negara asal. Namun, dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2026 yang memberikan masa percobaan 10 tahun sebelum eksekusi hukuman mati, serta adanya tren penghapusan hukuman mati di beberapa negara, opsi pemindahan narapidana hukuman mati menjadi pertimbangan yang signifikan dalam revisi RUU ini. Yusril menekankan bahwa perubahan ini didasarkan pada asas kemanusiaan dan perkembangan hukum internasional.

Lebih lanjut, Yusril menegaskan bahwa prinsip utama dalam kedua RUU tersebut tetap berlandaskan pengakuan atas putusan pengadilan masing-masing negara. Artinya, jika terjadi pemindahan, sisa masa hukuman narapidana wajib dijalani di negara asalnya. Kewenangan pembinaan, termasuk pemberian remisi, grasi, dan pembebasan bersyarat, akan sepenuhnya berada di bawah wewenang negara asal narapidana. Prinsip resiprokal, atau timbal balik, juga ditekankan dalam RUU ini, menjamin kesetaraan dan saling menguntungkan dalam kerja sama antarnegara. Implementasinya akan diwujudkan melalui perjanjian bilateral, kesepakatan, atau technical arrangement.

Sebagai contoh implementasi, Pemerintah Indonesia telah memulangkan Mary Jane (terpidana kasus narkoba) ke Filipina dan Serge Atloui (terpidana kasus narkoba) ke Prancis. Keduanya sebelumnya dijatuhi hukuman mati di Indonesia. Kasus-kasus ini menjadi bukti nyata perlunya regulasi yang komprehensif dan terstruktur untuk mengatur proses pemindahan narapidana secara adil dan efektif, demi penegakan hukum dan hubungan internasional yang lebih baik.