Pro dan Kontra Stairlift di Borobudur: Menilik Penerapan di Situs Warisan Dunia Lain

Polemik pemasangan stairlift di Candi Borobudur terus bergulir. Gagasan yang awalnya diwacanakan sebagai eskalator ini, memicu perdebatan tentang dampaknya terhadap struktur asli dan nilai sakral situs warisan dunia UNESCO tersebut.

Fadli Zon, tokoh publik yang juga seorang politisi, memberikan contoh penerapan stairlift di situs-situs warisan dunia lainnya sebagai pembenaran. Ia menyebutkan Kapel Sistina, Akropolis Athena, dan Angkor Wat sebagai contoh tempat-tempat yang telah menerapkan fasilitas serupa. Benarkah demikian?

Menelusuri Fakta di Balik Klaim

Untuk menelusuri kebenaran klaim tersebut, mari kita tinjau satu per satu situs yang disebutkan:

  • Akropolis Athena: Situs bersejarah ini memang menyediakan lift khusus bagi pengunjung dengan mobilitas terbatas. Lift ini dibangun menjelang Olimpiade Athena 2004 dan terus ditingkatkan untuk memastikan aksesibilitas yang lebih baik. Selain lift, tersedia juga jalur khusus dan fasilitas pendukung lainnya untuk memudahkan pengunjung disabilitas.

  • Kapel Sistina: Kapel yang berada di kompleks Museum Vatikan ini tidak memiliki lift di dalam ruangannya. Hal ini disebabkan oleh struktur bangunan bersejarah yang tidak memungkinkan adanya modifikasi besar. Namun, Museum Vatikan menyediakan fasilitas lift dan jalur khusus yang memungkinkan pengunjung dengan kursi roda untuk mengakses hampir seluruh area museum, termasuk Kapel Sistina.

  • Angkor Wat: Berbeda dengan dua situs sebelumnya, Angkor Wat tidak memiliki lift, eskalator, maupun stairlift. Candi megah yang dibangun pada abad ke-12 ini mempertahankan keaslian arsitekturnya. Tangga curam dan lorong sempit menjadi tantangan tersendiri bagi pengunjung dengan mobilitas terbatas. Beberapa area datar masih dapat diakses, tetapi secara keseluruhan, Angkor Wat belum sepenuhnya ramah bagi pengunjung disabilitas.

Inklusivitas Versus Konservasi

Wacana pemasangan stairlift di Candi Borobudur memunculkan pertanyaan mendasar tentang keseimbangan antara inklusivitas dan konservasi. Di satu sisi, penyediaan fasilitas aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, lansia, dan pengunjung dengan kebutuhan khusus adalah langkah positif untuk mewujudkan pariwisata yang inklusif. Di sisi lain, setiap intervensi terhadap situs warisan dunia harus dipertimbangkan secara matang dan multidisipliner untuk mencegah kerusakan atau perubahan yang tidak diinginkan.

Pihak pengelola Candi Borobudur mengklaim bahwa pemasangan stairlift akan dilakukan dengan metode yang tidak merusak struktur cagar budaya dan sesuai dengan ketentuan UNESCO. Namun, kekhawatiran tetap ada, terutama mengenai potensi dampak visual dan pengalaman pengunjung secara keseluruhan.

Perdebatan tentang stairlift di Borobudur adalah cerminan dari dilema yang sering dihadapi dalam pengelolaan situs warisan dunia. Bagaimana cara memastikan bahwa situs-situs bersejarah tetap lestari dan dapat dinikmati oleh semua orang, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan mobilitas? Jawabannya mungkin terletak pada inovasi desain, konsultasi dengan para ahli, dan dialog yang terbuka dengan semua pihak terkait.