Sekolah Gratis SD-SMP Swasta: DPR Tekankan Jaminan Kualitas Pendidikan

DPR Soroti Implementasi Sekolah Gratis SD-SMP Swasta Pasca Putusan MK

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayanti, menyambut positif keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pendidikan gratis selama 9 tahun, mencakup SD dan SMP, baik di sekolah negeri maupun swasta. Menurutnya, putusan ini adalah langkah penting dalam merealisasikan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar.

"Keputusan ini sangat baik dan mendapat dukungan penuh dari kami, karena ini merupakan wujud pemenuhan hak dasar warga negara dalam bidang pendidikan," ungkap Esti Wijayanti pada Rabu, 28 Mei 2025.

Esti menjelaskan bahwa UUD 1945 mengamanatkan negara untuk hadir dan membantu masyarakat, terutama bagi mereka yang kurang mampu agar mendapatkan pendidikan yang layak.

"Negara memiliki kewajiban untuk hadir, khususnya bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu yang terpaksa memilih pendidikan swasta karena keterbatasan kapasitas sekolah negeri. Keputusan MK ini memberikan harapan bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh akses pendidikan yang bermutu dan berkeadilan," paparnya.

Esti juga sependapat dengan pertimbangan MK bahwa banyak anak dari keluarga kurang mampu kesulitan membayar biaya pendidikan.

"Ini adalah salah satu masalah dalam sistem pendidikan kita. Ketika anak-anak dari keluarga berada tidak dapat tertampung di sekolah negeri karena berbagai alasan, mereka terpaksa bersekolah di swasta," jelasnya.

"Banyak dari mereka yang kesulitan, tidak mampu membayar SPP, sehingga tidak bisa mengikuti ujian, atau bahkan tidak bisa mengambil ijazah karena tunggakan biaya pendidikan. Tidak sedikit juga yang akhirnya putus sekolah. Oleh karena itu, pendidikan gratis juga harus berlaku di sekolah swasta," lanjut Esti.

Namun demikian, Esti menekankan bahwa implementasi kebijakan ini memerlukan pendekatan yang lebih kontekstual. Tidak semua sekolah swasta dapat diperlakukan sama.

"Kita harus objektif. Ada sekolah swasta yang memiliki segmen pasar khusus dan menjalankan misi pendidikan yang lebih kompleks, termasuk dengan tenaga pengajar yang lebih berkualitas dan fasilitas yang menunjang mutu tinggi," paparnya.

Menurutnya, penting untuk memahami dan memberikan kebebasan kepada sekolah swasta mandiri. Tentu ada sekolah yang mungkin tidak bersedia karena merasa mampu memberikan pendidikan berkualitas.

Esti menekankan pentingnya klasifikasi sekolah swasta dalam menerapkan keputusan MK. Ia meminta pemerintah untuk fokus memberikan dukungan kepada sekolah swasta yang berkontribusi membuka akses pendidikan dasar di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), serta di kawasan perkotaan padat yang kekurangan sekolah negeri.

"Yang perlu dihitung adalah berapa anggaran yang dibutuhkan. Termasuk sekolah-sekolah swasta yang perlu diperhitungkan anggaran untuk operasionalnya seperti gaji guru, tenaga kependidikan, fasilitas, dan sebagainya. Khususnya sekolah swasta yang menampung banyak masyarakat kurang mampu, sekolah swasta di daerah 3T, dan lain-lain," imbuhnya.

Lebih lanjut, Esti menekankan bahwa rancangan anggaran yang matang harus menjadi perhatian utama agar kebijakan baru ini tetap mengutamakan kualitas pendidikan. Ia meminta pemerintah untuk meninjau ulang struktur alokasi anggaran pendidikan yang telah ditetapkan sebesar 20% dari APBN.

Menurutnya, diperlukan perencanaan dan perhitungan yang cermat mengenai anggaran dengan adanya putusan kewajiban sekolah gratis dari SD hingga SMP. Esti menegaskan bahwa Komisi X DPR akan menjalankan fungsi pengawasan secara ketat.

"Kualitas pendidikan tidak boleh menurun hanya karena kebijakan yang tidak disertai dengan perencanaan anggaran dan klasifikasi yang matang. Negara wajib hadir dengan solusi, bukan hanya dengan aturan," tegasnya.

Sebelumnya, MK memerintahkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun di sekolah negeri dan swasta. Putusan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga pemohon individu.

MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.