Terungkap di Persidangan: 'Pasal Anestesi' dan Dugaan Perundungan Berujung Tragis di PPDS Undip
Sidang perdana kasus dugaan perundungan dan pemerasan yang menimpa seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dr. Aulia Risma, mengungkap fakta-fakta yang mengejutkan. Zara Yupita Azra, terdakwa dalam kasus ini, didakwa dengan pasal pemerasan dan pemaksaan dengan kekerasan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika memaparkan bagaimana terdakwa, yang merupakan senior korban, diduga kuat telah menerapkan sistem senioritas yang berlebihan dan merugikan.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kota Semarang, terungkap adanya doktrin yang dikenal dengan istilah 'pasal anestesi'. Pasal ini, menurut JPU, memuat prinsip 'senior selalu benar' dan berbagai aturan yang mengekang junior. Aturan-aturan tersebut mencakup larangan bagi junior untuk mengeluh, kewajiban menyediakan 'makan prolong' bagi senior, dan sistem 'joki tugas' di mana junior harus membayar pihak ketiga untuk mengerjakan tugas senior.
Penerapan 'Pasal Anestesi'
Menurut dakwaan, Zara Yupita Azra, saat menjabat sebagai kakak pembimbing (kambing), memberikan arahan kepada Aulia Risma dan rekan-rekan seangkatannya melalui Zoom Meeting pada Juni 2022. Dalam pertemuan tersebut, Zara memperkenalkan sistem operan tugas yang meliputi:
- Makan prolong: Penyediaan makanan bagi senior dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang bertugas di atas pukul 18.00 WIB di RSUP dr. Kariadi.
- Joki tugas: Pembayaran kepada pihak ketiga untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik senior.
- Keperluan-keperluan lainnya: Penyediaan logistik dan transportasi bagi senior.
Selain itu, Zara juga menekankan pentingnya 'tata krama anestesi' yang mengatur interaksi antara senior dan junior. Tata krama ini melarang junior untuk berbicara dengan senior tanpa izin, membatasi komunikasi antara angkatan yang berbeda, dan mengharuskan senior untuk selalu memulai percakapan.
Hukuman Fisik dan Intimidasi
Tidak hanya itu, terdakwa juga diduga melakukan evaluasi terhadap angkatan 77 pada Juli 2022. Dalam evaluasi tersebut, Zara disebut melontarkan kata-kata kasar dan memberikan hukuman fisik kepada Aulia Risma dan rekan-rekannya. Hukuman tersebut berupa berdiri selama kurang lebih satu jam dan difoto. Foto-foto tersebut kemudian dilaporkan kepada grup 23 anestesi. Jika angkatan 77 terus melakukan kesalahan, mereka akan terus dihukum di waktu istirahat mereka.
Zara juga disebut mengirimkan pesan teks yang intimidatif kepada Aulia Risma, mengancam akan mempersulit hidup korban jika terdakwa atau seniornya mendapat hukuman akibat kesalahan Aulia. Ancaman ini semakin memperburuk kondisi psikologis korban.
Dampak Psikologis dan Kerugian Finansial
Jaksa Penuntut Umum meyakini bahwa doktrin senioritas dan sistem 'pasal anestesi' telah menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan intimidasi bagi mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 77. Mereka terpaksa mengeluarkan uang dengan jumlah total Rp 864 juta untuk memenuhi kebutuhan senior. Rinciannya adalah:
- Rp 494.171.000 dari rekening atas nama Aulia Risma Lestari
- Rp 272.500.000 dari rekening atas nama Bayu Ardibowo
- Rp 98.058.500 untuk pembayaran joki tugas
Kondisi ini berdampak buruk terhadap kesehatan mental Aulia Risma, yang mengalami depresi dan kehilangan rasa percaya diri. Jaksa menyimpulkan bahwa kekerasan psikis yang dialami korban selama menjalani pendidikan di PPDS Anestesi Undip menjadi faktor utama yang menyebabkan korban mengakhiri hidupnya.
Menanggapi dakwaan tersebut, kuasa hukum terdakwa menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi dan memilih untuk langsung masuk ke pokok perkara. Pihak terdakwa ingin menguji fakta-fakta yang terungkap di persidangan.