45 Tahun Terkurung: Kisah Pilu Wanita Penyandang Autisme Korban Salah Tahan di Rumah Sakit Jiwa Inggris

45 Tahun Terkurung: Kisah Pilu Wanita Penyandang Autisme Korban Salah Tahan di Rumah Sakit Jiwa Inggris

Sebuah investigasi mendalam oleh BBC mengungkap kisah pilu Kasibba, seorang wanita penyandang autisme dan gangguan belajar asal Sierra Leone yang secara keliru ditahan di sebuah rumah sakit jiwa di Inggris selama 45 tahun. Ditahan sejak usia tujuh tahun, Kasibba menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam isolasi, tanpa keluarga dan tanpa suara yang mampu membela hak-haknya. Ketidakmampuannya berkomunikasi dan kurangnya dukungan keluarga menjadikan dirinya rentan terhadap penahanan yang berkepanjangan dan salah tempat ini.

Kasus Kasibba bukanlah kasus terisolir. Departemen Kesehatan dan Perawatan Sosial Inggris mengakui masih ada ribuan penyandang disabilitas, termasuk lebih dari 2.000 orang dengan autisme dan gangguan belajar, yang ditahan di rumah sakit jiwa. Sekitar 200 di antaranya masih anak-anak. Pemerintah Inggris sendiri mengakui bahwa penahanan ini tidak dapat diterima dan berjanji untuk melakukan reformasi Undang-Undang Kesehatan Mental guna mencegah penahanan yang tidak pantas. Namun, janji-janji tersebut berulang kali gagal diwujudkan. Target pemindahan pasien ke klinik perawatan masyarakat yang telah ditetapkan pada tahun 2014, 2019, dan 2024 semuanya meleset. Hal ini menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai lembaga amal dan aktivis hak-hak penyandang disabilitas.

Perjuangan panjang untuk membebaskan Kasibba dimulai pada tahun 2013 ketika Dr. Patsie Staite, seorang psikolog klinis, menemukan kondisi penahanan Kasibba yang memprihatinkan. Butuh sembilan tahun penuh bagi Dr. Staite dan timnya untuk akhirnya membebaskan Kasibba. Selama kurungannya, Kasibba dikurung lebih dari 23 jam sehari, dalam kondisi yang disebut Dr. Staite sebagai situasi yang ‘sah’ namun pada kenyataannya adalah bentuk penahanan yang tidak manusiawi. Lebih lanjut, Dr. Staite menemukan bahwa Kasibba diberi label sebagai 'pencungkil mata' dan 'berbahaya' berdasarkan sebuah insiden tunggal puluhan tahun lalu, di mana Kasibba secara reaktif mencakar seorang pasien lain dalam kondisi panik saat terjadi kebakaran. Label ini kemudian digunakan untuk membenarkan penahanan berkepanjangannya.

Proses pembebasan Kasibba melibatkan berbagai pihak, termasuk Lucy Dunstan dari organisasi hak-hak disabilitas Changing Our Lives yang ditunjuk sebagai advokat independen. Dunstan menggambarkan kondisi Kasibba sebagai 'menyedihkan', melihatnya melalui jendela kecil di pintu yang terkunci, terbaring di sofa dalam kamar yang kosong. Perjuangan hukum yang panjang akhirnya berhasil memenangkan pembebasan Kasibba dari Pengadilan Perlindungan pada tahun 2022. Keputusan ini menandai sebuah kemenangan bagi hak-hak penyandang disabilitas dan sorotan akan pentingnya advokasi dan perhatian terhadap kasus-kasus serupa.

Kini, Kasibba menjalani kehidupan di tengah masyarakat dengan dukungan pekerja sosial. Kisahnya menunjukkan bahwa bahkan setelah dibebaskan, dukungan yang berkelanjutan dan pendekatan perawatan yang sensitif sangat krusial. Manajer perawatannya menggambarkan Kasibba sebagai pribadi yang memiliki selera humor dan menikmati interaksi sosial, menunjukkan potensi yang terpendam selama bertahun-tahun terkurung. Namun, kasus Kasibba juga menjadi pengingat akan perlunya reformasi sistemik dalam perawatan kesehatan mental di Inggris, khususnya terkait dengan penahanan penyandang disabilitas yang tidak memiliki penyakit jiwa. Pemerintah Inggris perlu memastikan adanya dukungan alternatif di masyarakat sebelum mengizinkan penahanan yang berkepanjangan, dan memastikan bahwa tidak ada lagi cerita pilu seperti Kasibba terulang kembali.

Meskipun RUU Kesehatan Mental yang baru diharapkan dapat membawa perubahan, pemerintah masih perlu membuktikan komitmennya untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam sistem perawatan kesehatan mental.