Upaya Pencegahan Gagal: Pernikahan Dini di Lombok Tengah Terjadi karena Tradisi dan Kehendak Orang Tua
Di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, sebuah pernikahan di bawah umur menjadi sorotan setelah video upacara pernikahan tersebut viral di media sosial. Peristiwa ini mengungkap kompleksitas permasalahan pernikahan anak yang melibatkan aspek hukum, adat, dan peran orang tua.
Kasus ini bermula ketika pasangan tersebut, yang masih berusia di bawah umur, sebelumnya telah melangsungkan pernikahan secara adat yang disebut merariq. Namun, pernikahan tersebut sempat diintervensi oleh aparat desa karena melanggar undang-undang perkawinan yang mengatur batas usia minimal untuk menikah. Kepala dusun dari kedua belah pihak keluarga mempelai, yang berasal dari desa berbeda, berupaya untuk memisahkan mereka.
Namun, upaya pemisahan tersebut tidak berlangsung lama. Tiga minggu setelahnya, pasangan tersebut kembali melakukan pernikahan, kali ini dengan cara memariq, atau yang lebih dikenal sebagai kawin lari, sebuah tradisi yang umum di suku Sasak, Lombok. Mereka melarikan diri ke Sumbawa selama dua hari sebelum akhirnya kembali ke Lombok.
Sekembalinya mereka, kepala dusun kembali menghubungi pihak keluarga perempuan, dengan maksud untuk mengembalikan mempelai perempuan kepada orang tuanya. Akan tetapi, orang tua mempelai perempuan menolak dan bersikeras untuk menikahkan anaknya. Dengan situasi tersebut, pihak keluarga laki-laki merasa terpaksa untuk menikahkan putra mereka, mengingat tradisi yang berlaku dan demi menjaga nama baik keluarga.
Saat ini, mempelai laki-laki berusia 17 tahun, sementara mempelai perempuan berusia 15 tahun dan masih berstatus sebagai siswi SMP. Pihak pemerintah desa setempat telah berupaya untuk mencegah pernikahan ini, namun terbentur pada kehendak orang tua yang bersikeras untuk menikahkan anak-anak mereka.
Perkawinan ini dilangsungkan secara tidak resmi atau di bawah tangan, dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Pemerintah desa juga telah memberikan imbauan kepada keluarga mempelai untuk tidak menyelenggarakan acara nyongkolan (prosesi adat membawa pengantin) secara meriah, terutama dengan iringan musik tradisional. Imbauan ini diberikan sebagai bentuk penghormatan terhadap aturan hukum dan untuk menghindari perhatian publik yang berlebihan. Namun, imbauan tersebut tidak diindahkan oleh pihak keluarga perempuan, dengan alasan bahwa kakak dari mempelai perempuan sebelumnya juga melaksanakan prosesi nyongkolan dengan meriah.
Kepala desa setempat mengungkapkan rasa frustrasinya atas situasi ini. Ia menyatakan bahwa pihaknya telah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah pernikahan anak di bawah umur, namun pada akhirnya harus menyerah pada kehendak orang tua. Kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya edukasi mengenai dampak negatif pernikahan anak, serta perlunya kerja sama antara pemerintah, tokoh masyarakat, dan keluarga dalam melindungi hak-hak anak.