Perkawinan Anak di Lombok Tengah Tuai Kecaman, LPA Lapor Polisi

Perkawinan Anak di Lombok Tengah Jadi Sorotan, LPA Turun Tangan

Sebuah pernikahan di bawah umur yang melibatkan dua remaja di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah memicu gelombang kecaman publik dan mendorong Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram untuk melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian. Pernikahan yang melibatkan seorang gadis SMP berusia 15 tahun, yang diidentifikasi sebagai SMY, dan seorang siswa SMK berusia 17 tahun bernama SR, ini menjadi viral di media sosial, terutama karena video yang menampilkan gelagat aneh dari mempelai wanita.

Video yang beredar luas menunjukkan mempelai wanita, SMY, berjoget dan berperilaku tidak lazim selama prosesi nyongkolan, sebuah tradisi pernikahan adat Sasak. Perilakunya ini memicu komentar dari warganet yang mempertanyakan kesehatan mentalnya dan kemampuan untuk memahami makna pernikahan. LPA Kota Mataram, yang menanggapi kekhawatiran publik, telah secara resmi melaporkan pernikahan tersebut ke Polres Lombok Tengah. Ketua LPA, Joko Jumadi, menyatakan bahwa laporan ini didasarkan pada dugaan pelanggaran hukum dan potensi dampak sosial yang merugikan akibat perkawinan anak.

Menurut Joko, kasus ini bukan hanya tentang usia pengantin, tetapi juga tentang implikasi hukum dan sosial yang lebih luas. Ia menekankan bahwa praktik perkawinan anak dapat melanggengkan kemiskinan, menghambat pendidikan, dan meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, Joko menyoroti bahwa gelagat aneh mempelai wanita dalam video tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya masalah psikologis yang perlu diinvestigasi lebih lanjut. Namun, ia menekankan bahwa kondisi psikologis anak tersebut hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan medis oleh tenaga ahli.

Joko juga mengungkapkan keprihatinannya atas tingginya angka perkawinan anak di NTB, yang mencapai 14 persen dari total kasus nasional. Ia menyebutkan bahwa Lombok Tengah dan Lombok Timur merupakan wilayah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di provinsi tersebut. Ironisnya, meskipun jumlah permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke pengadilan berkisar antara 700 hingga 800 kasus per tahun, angka kelahiran dari remaja jauh lebih tinggi, mencapai 3.000 hingga 4.000 kasus, bahkan mencapai 8.000 kasus pada tahun 2021.

LPA berharap bahwa pelaporan kasus ini akan menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat tentang bahaya perkawinan anak dan konsekuensi hukumnya. Joko mengingatkan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur sanksi bagi pelaku perkawinan anak, termasuk orang tua yang menikahkan anaknya di bawah umur. Kasus ini menjadi pengingat yang menyakitkan tentang perlunya upaya yang lebih besar untuk melindungi anak-anak dari praktik perkawinan paksa dan memastikan hak-hak mereka untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Kasus ini menggarisbawahi perlunya tindakan komprehensif untuk mengatasi akar penyebab perkawinan anak, termasuk kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan norma-norma sosial yang merugikan. Pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya perkawinan anak, memberikan dukungan kepada keluarga berisiko, dan menegakkan hukum yang melindungi hak-hak anak.

Berikut adalah point-point penting yang dapat disoroti:

  • Pernikahan anak di Lombok Tengah viral dan dikecam.
  • LPA Kota Mataram melaporkan kasus ini ke polisi.
  • Gelagat mempelai wanita menjadi perhatian dan memicu spekulasi.
  • NTB memiliki angka perkawinan anak yang tinggi.
  • UU TPKS mengatur sanksi bagi pelaku perkawinan anak.