Polemik PPnBM Mobil di Bawah Rp 400 Juta: Antara Beban dan Kebutuhan
Penerapan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada kendaraan bermotor dengan harga di bawah Rp 400 juta kembali menjadi perbincangan hangat. Di satu sisi, mobil dianggap sebagai kebutuhan mobilitas sehari-hari, bahkan menjadi sumber penghidupan bagi sebagian masyarakat. Di sisi lain, pemerintah mengenakan PPnBM yang secara implisit mengkategorikan mobil sebagai barang mewah.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah mobil dengan harga di bawah Rp 400 juta masih relevan dikategorikan sebagai barang mewah? Kebijakan PPnBM saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.010/2021, mengenakan tarif yang bervariasi tergantung pada jenis kendaraan, kapasitas mesin, dan emisi gas buang. Kendaraan Low Cost Green Car (LCGC) dikenakan tarif PPnBM sebesar 3%, sementara mobil-mobil di kelas Low MPV atau Low SUV dengan harga di bawah Rp 400 juta dapat dikenakan PPnBM sebesar 15%.
Kritik terhadap pengenaan PPnBM ini terutama ditujukan pada mobil-mobil yang dianggap bukan barang mewah. Masyarakat berpendapat bahwa selain dibebani PPnBM saat pembelian, pemilik kendaraan juga harus membayar pajak tahunan dan pajak progresif. Hal ini berbeda dengan barang mewah lainnya seperti tas atau sepatu, yang meskipun dikenakan pajak barang mewah saat pembelian, tidak dikenakan pajak tahunan.
Beberapa pihak berpendapat bahwa penghapusan PPnBM pada mobil dapat memberikan dampak positif terhadap industri otomotif. Harga mobil berpotensi menjadi lebih terjangkau, sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mendongkrak penjualan yang sempat mengalami penurunan. Pemerintah pernah menerapkan kebijakan diskon PPnBM selama pandemi Covid-19 pada tahun 2021-2022. Kebijakan ini memberikan dampak positif terhadap penjualan otomotif. Pada tahun 2021, penjualan mobil melonjak menjadi 887.000 unit dari 532.000 unit pada periode sebelumnya. Kemudian, pada tahun 2022, penjualan kembali naik ke angka 1,04 juta unit, melampaui capaian tahun 2019 sebesar 1,03 juta unit.
Kebijakan diskon PPnBM kala itu diberikan kepada produk otomotif yang memenuhi syarat, yaitu diproduksi di dalam negeri dengan tingkat kandungan lokal yang tinggi. Hal ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industri otomotif dalam negeri dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Implikasi dari kebijakan PPnBM ini sangat kompleks. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan penerimaan pajak untuk membiayai pembangunan. Di sisi lain, pengenaan PPnBM dapat membebani masyarakat dan menghambat pertumbuhan industri otomotif. Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang komprehensif untuk meninjau kembali kebijakan PPnBM, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kemampuan ekonomi masyarakat, daya saing industri otomotif, dan kebutuhan penerimaan negara.
-
Potensi Dampak Penghapusan PPnBM
- Harga mobil lebih terjangkau
- Meningkatkan daya beli masyarakat
- Mendorong pertumbuhan industri otomotif
-
Aspek yang Perlu Dipertimbangkan
- Kemampuan ekonomi masyarakat
- Daya saing industri otomotif
- Kebutuhan penerimaan negara