MA Soroti Gaya Hidup Mewah Hakim, DPR Sentil Budaya Malu

Sorotan terhadap gaya hidup mewah di kalangan hakim kembali mencuat. Ketua Mahkamah Agung (MA), Sunarto, secara implisit menyampaikan sindiran kepada para hakim yang gemar memamerkan barang-barang mewah. Pernyataan ini kemudian mendapatkan dukungan dari anggota Komisi III DPR RI, Jazilul Fawaid, yang menekankan pentingnya budaya malu dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Jazilul Fawaid menyatakan bahwa pernyataan Ketua MA tersebut didasarkan pada pengamatan yang cermat terhadap perilaku sebagian hakim yang cenderung mempertontonkan kemewahan. Ia berharap agar budaya saling mengingatkan terus dipelihara, terutama dalam mencegah perilaku hedonistik yang dapat merusak citra lembaga peradilan. Menurutnya, budaya malu harus terus ditanamkan sebagai benteng moral bagi para hakim.

Sindiran Ketua MA berfokus pada ketidaksesuaian antara gaji hakim dengan gaya hidup mewah yang mereka tunjukkan. Sunarto mempertanyakan bagaimana mungkin seorang hakim dengan gaji relatif terbatas mampu membeli barang-barang mewah dari merek-merek ternama, seperti Louis Vuitton (LV), Bally, atau bahkan mobil Porsche. Ia juga menyoroti kepemilikan jam tangan mewah bernilai fantastis, mencapai miliaran rupiah, dan mempertanyakan apakah para hakim tersebut tidak merasa malu atau takut kepada Tuhan atas kekayaan yang mereka peroleh.

Sunarto menegaskan bahwa ia tidak bermaksud mengatur gaya pribadi para hakim. Namun, ia mempertanyakan sumber dana yang digunakan untuk membeli barang-barang mewah tersebut, terutama jika dana tersebut berasal dari hasil penanganan perkara. Ia menyindir kemungkinan adanya praktik-praktik yang tidak etis dalam proses peradilan yang memungkinkan hakim untuk memperoleh kekayaan secara tidak wajar.

"Tidak malu, gajinya Rp 27 juta, Rp 23 juta, pakai LV, pakai Bally, pakai Porsche, nggak malu? Orang melihat gajinya segitu, pakai LV, LV berapa? Sepatu Bally berapa? Rp 30 juta. Arlojinya Rp 1 M, Kok nggak malu?", ujar Sunarto, dalam sebuah forum pembinaan yang digelar di kantor MA.

Sunarto menambahkan, "Ya, kalau nggak malu, apa tidak takut sama Tuhan? Minimal takut sama wartawan. Difoto arlojinya Rp 1 M apa tidak malu Saudara-saudara? Kecuali dapat warisan. Kalau di Amerika menang lotre. Di Indonesia sudah nggak ada undian harapan, mimpi, ya,"

Lebih lanjut, Jazilul juga menekankan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap gaya hidup para hakim. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya praktik korupsi atau penyalahgunaan wewenang yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Ia berharap agar para hakim dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat, dengan menjunjung tinggi integritas dan moralitas dalam menjalankan tugasnya. Komisi III DPR RI sendiri akan terus mengawasi kinerja MA dan memastikan bahwa lembaga tersebut menjalankan fungsinya secara profesional dan akuntabel.

Berikut beberapa poin penting yang menjadi sorotan dalam isu ini:

  • Gaya Hidup Mewah Hakim: Sorotan terhadap kepemilikan barang-barang mewah oleh hakim yang dianggap tidak sesuai dengan pendapatan mereka.
  • Budaya Malu: Penekanan pada pentingnya budaya malu sebagai mekanisme kontrol sosial untuk mencegah perilaku hedonistik dan koruptif.
  • Integritas Peradilan: Upaya menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan melalui pengawasan dan penegakan etika.
  • Pengawasan DPR: Peran Komisi III DPR RI dalam mengawasi kinerja MA dan memastikan akuntabilitas lembaga peradilan.

Dengan adanya sorotan ini, diharapkan para hakim dapat lebih berhati-hati dalam menampilkan gaya hidup mereka dan lebih fokus pada peningkatan kualitas pelayanan peradilan. Lembaga peradilan harus menjadi benteng keadilan bagi seluruh masyarakat, bukan ajang untuk memperkaya diri sendiri.