Festival Film Cannes: Antara Sejarah Sensualitas dan Kontroversi Etika Berbusana

Festival Film Cannes, sebuah perhelatan akbar dunia perfilman, kembali menjadi sorotan bukan hanya karena film-film berkualitas yang ditayangkan, namun juga karena isu etika berbusana yang kontroversial. Insiden yang melibatkan seorang aktris, Zhao Yingzi, yang dikabarkan diminta meninggalkan karpet merah karena gaunnya yang dianggap terlalu terbuka, memicu perdebatan tentang batasan antara ekspresi diri dan norma kesopanan di festival tersebut.

Rumah mode JoliPoli Couture, perancang gaun Zhao Yingzi, membela karyanya sebagai perpaduan siluet arsitektural dan detail manik-manik yang rumit. Namun, pihak penyelenggara Festival Film Cannes sebelumnya telah mengumumkan aturan baru mengenai etika berbusana, melarang penggunaan busana yang terlalu terbuka atau naked dressing demi menjaga kesopanan. Selain itu, busana dengan ukuran berlebihan, terutama yang memiliki ekor panjang, juga dilarang karena berpotensi mengganggu kelancaran acara.

Ironisnya, Festival Film Cannes memiliki sejarah panjang yang identik dengan sensualitas dan kebebasan berekspresi. Majalah Vogue mencatat bahwa Cannes merupakan tempat pertama kali bikini diperkenalkan kepada khalayak global. Momen ikonik Brigitte Bardot berpose dengan bikini di pantai Cannes pada tahun 1953 menjadi simbol perubahan zaman, menandai peralihan dari trauma Perang Dunia menuju budaya pop yang penuh gairah.

Bikini sendiri lahir pada era pasca-perang, merepresentasikan semangat kaum muda yang progresif untuk menampilkan kulit dan mengejar kulit kecokelatan sebagai simbol kebebasan. Walaupun begitu, gaya pakaian seperti bralette sudah ada sejak era Romawi kuno seperti yang ada di dalam mosaik Villa Romana del Casale di Sisilia pada 400 M. Akan tetapi, bikini yang dikenal saat ini baru muncul pada musim panas tahun 1946.

Sejak saat itu, Festival Film Cannes menjadi panggung bagi film-film berani yang mengeksplorasi tema-tema tabu dan kontroversial. Film Shortbus (2006) karya John Cameron Mitchell menjadi contohnya, dengan adegan-adegan eksplisit yang memicu perdebatan. Bahkan, pemenang Palme d'Or tahun lalu, Anora karya Sean Baker, mengangkat kisah seorang penari telanjang di New York.

Salah satu film yang paling diingat dalam sejarah Festival Film Cannes adalah In the Realm of the Senses (1976) karya sutradara Jepang Nagisa Oshima. Film ini, yang ditayangkan di sesi Directors Fortnight, menggambarkan industri film Jepang yang mulai bereksperimen dengan tema-tema yang menantang.

Kontroversi etika berbusana yang terjadi baru-baru ini memunculkan pertanyaan tentang arah Festival Film Cannes di masa depan. Apakah festival ini akan tetap menjadi simbol kebebasan berekspresi dan sensualitas, ataukah akan lebih menekankan pada norma kesopanan dan batasan-batasan tertentu? Waktu yang akan menjawabnya.