Demo Berujung Penahanan: Lima Belas Mahasiswa Trisakti Jadi Tersangka Kericuhan di Balai Kota
Aksi unjuk rasa yang digelar mahasiswa di depan Balai Kota Jakarta terkait peringatan reformasi berujung pada penetapan status tersangka terhadap 15 mahasiswa Universitas Trisakti. Pihak kepolisian menahan mereka atas dugaan terlibat dalam kericuhan yang terjadi pada Rabu (21/5/2025).
Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, Kabid Humas Polda Metro Jaya, menyatakan bahwa para mahasiswa tersebut diduga melakukan serangkaian tindakan melawan hukum, termasuk penghasutan, kekerasan terhadap aparat kepolisian, dan petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) yang bertugas mengamankan area Balai Kota.
"Para tersangka memiliki peran yang berbeda-beda, mulai dari menghasut massa untuk melawan petugas kepolisian dan Pamdal yang tengah berupaya menutup gerbang Balai Kota, hingga melakukan tindak pidana pengeroyokan dan kekerasan secara bersama-sama di muka umum," jelas Ade Ary di Polda Metro Jaya, Jumat (23/5/2025).
Menurut keterangan pihak kepolisian, aksi pengeroyokan tersebut melibatkan tindakan mendorong, memukul, menendang, membanting, dan bahkan menggigit petugas Pamdal. Akibatnya, para tersangka dijerat dengan sejumlah pasal KUHP, termasuk:
- Pasal 160 KUHP (Penghasutan)
- Pasal 170 KUHP (Pengeroyokan)
- Pasal 351 KUHP (Penganiayaan)
- Pasal 212 KUHP (Melawan Petugas)
- Pasal 216 KUHP (Tidak Menuruti Perintah Petugas)
- Pasal 218 KUHP (Mengadakan Aksi Tanpa Izin)
Saat ini, ke-15 mahasiswa yang telah ditetapkan sebagai tersangka telah ditahan di Polda Metro Jaya untuk proses penyidikan lebih lanjut.
Selain penetapan tersangka, pihak kepolisian juga telah memulangkan 78 mahasiswa Universitas Trisakti lainnya yang sebelumnya turut diamankan. Total, 93 mahasiswa sempat diamankan terkait insiden tersebut.
"Terhadap 78 orang lainnya sudah diizinkan untuk pulang dan diserahkan kepada keluarganya," imbuh Ade Ary.
Namun, proses hukum tidak berhenti sampai di situ. Polisi masih melakukan pengejaran terhadap seorang mahasiswa Trisakti berinisial MAA yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
"Ada satu orang juga yang sudah ditetapkan tersangka tapi bukan merupakan bagian dari 93 yang diamankan dan saat ini sedang dilakukan pengejaran," tegas Ade Ary.
Sebelumnya, aksi demonstrasi yang digelar untuk memperingati reformasi di depan Balai Kota DKI Jakarta berujung ricuh. Selain puluhan mahasiswa yang diamankan, tujuh anggota kepolisian dilaporkan mengalami luka-luka akibat kekerasan yang dilakukan oleh massa.
Menurut keterangan polisi, aksi demonstrasi awalnya direncanakan berlangsung di depan pintu masuk Balai Kota. Namun, massa aksi kemudian melakukan upaya paksa untuk menerobos masuk ke area dalam kantor.
"Sekitar pukul 16.38 WIB massa aksi melakukan pendobrakan terhadap pintu keluar Balai Kota dan memaksa masuk ke dalam area kantor meskipun telah dihadang dan dijaga oleh petugas. Tindakan ini melanggar kesepakatan lokasi aksi," kata Ade Ary.
Pihak kepolisian juga menyebutkan bahwa beberapa peserta aksi mencoba menerobos masuk dengan menggunakan sepeda motor.
Pada saat petugas berusaha menghalau massa, terjadi insiden penghadangan terhadap kendaraan yang ditumpangi oleh seorang pejabat negara. Pejabat tersebut bahkan dipaksa untuk turun dari mobil.
Massa aksi juga diduga melakukan pemukulan terhadap aparat kepolisian.
"Akibatnya, tujuh personel Direktorat Sabhara Polda Metro Jaya mengalami luka-luka (luka sobek, lecet) akibat pemukulan, menggigit aparat, tendangan secara bersamaan kepada aparat," jelas Ade Ary.
Terpisah, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menjelaskan bahwa unjuk rasa tersebut berkaitan dengan aspirasi pengakuan negara atas tragedi mahasiswa 1998. Tuntutan ini masih menjadi perhatian dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi Trisakti.
"Memang pada awalnya ada aspirasi dari mahasiswa Trisakti, termasuk untuk bertemu dengan Kesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik)," ujar Usman di Balai Kota Jakarta.
Usman Hamid menambahkan bahwa penyampaian pendapat dan keinginan untuk bertemu dengan Kesbangpol merupakan bagian dari harapan lama mahasiswa dan keluarga korban agar negara mengakui serta bertanggung jawab atas jatuhnya korban mahasiswa saat gerakan reformasi 1998.
"Memang sudah lama sebagian dari aktivitas akademik Trisakti berharap ada semacam pengakuan negara atas gugurnya para mahasiswa di tahun 1998," pungkas Usman Hamid.