Polemik Penerbitan STR Dokter Anak: Ketua Kolegium Kesehatan Anak Ungkap Kendala dan Klarifikasi

Polemik Penerbitan STR Dokter Anak: Ketua Kolegium Kesehatan Anak Ungkap Kendala dan Klarifikasi

Persoalan Surat Tanda Registrasi (STR) bagi dokter anak menjadi sorotan setelah Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso, mempertanyakan lamanya proses penerbitan STR meski uji kompetensi telah dilaksanakan. Menanggapi hal tersebut, Ketua Kolegium Kesehatan Anak, dr. Fatima Safira Alatas, memberikan penjelasan terkait duduk perkara sebenarnya.

Fatima menegaskan bahwa penerbitan STR merupakan wewenang Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), bukan kolegium. Kolegium sendiri bertugas menerbitkan sertifikat kompetensi (serkom) sebagai salah satu syarat pengajuan STR. Namun, proses penerbitan serkom sempat terhambat akibat permasalahan internal antara kolegium lama dan kolegium baru yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

"Kesalahannya bukan di kita," ujar Fatima. "Tidak adanya kerja sama antara kolegium lama dan kolegium baru menjadi penyebab utama keterlambatan. Padahal, sesuai arahan, seharusnya ada kerja sama di masa transisi ini."

Fatima menjelaskan bahwa kolegium lama memilih untuk menyelenggarakan uji kompetensi sendiri setelah kolegium baru disahkan pada 30 Oktober 2024. Tindakan ini dinilai tidak lagi legal. Kolegium lama pun tidak berani memungut biaya uji kompetensi, sementara kewenangan mengeluarkan serkom berada di kolegium baru.

"Yang melaksanakan ujian adalah kolegium yang ada di IDAI, tanpa koordinasi dengan saya," kata Fatima. "Setelah mereka menyelesaikan ujian, kandidat tidak akan mendapatkan serkom karena tidak bekerja sama dengan kolegium yang baru."

Meski demikian, kolegium yang dipimpin Fatima berupaya mencari solusi dengan menerbitkan serkom bagi dokter-dokter yang mengikuti uji kompetensi dari kolegium IDAI. Hal ini dilakukan karena para dokter tersebut mungkin tidak mengetahui adanya permasalahan prosedur yang terjadi.

"Kami menganggap tidak apa-apa, karena yang menguji adalah profesor dan dokter berkualitas yang saya kenal," tutur Fatima. "Jadi kita approve bahwa itu ujian yang sah."

Kendala kembali muncul ketika kolegium lama atau IDAI enggan memberikan laporan hasil ujian secara detail, termasuk nilai dan dokumentasi foto. Akibatnya, kolegium baru meminta hasil ujian kepada dekan dari masing-masing penyelenggara pendidikan, yang sebelumnya telah bersurat ke kolegium lama. Proses ini memakan waktu yang cukup lama.

"Prosesnya jadi lama dan berputar-putar," jelas Fatima. "Karena kolegium lama tidak mau memberikan data, akhirnya kami meminta dari dekan. Keterlambatan penerbitan serkom bisa mencapai satu hingga dua bulan, tergantung kecepatan para dekan dalam memberikan bukti, dokumentasi, sertifikat profesi, dan nilai yang diberikan oleh kolegium penyelenggara ujian."

Sebelumnya, Ketua IDAI, Piprim Basarah Yanuarso, mengklaim bahwa peserta didik yang lulus uji kompetensi kolegium IDAI tidak kunjung mendapatkan STR karena pembentukan kolegium baru oleh Menkes. Ia juga menyoroti biaya uji kompetensi sebesar Rp 12,5 juta yang dibebankan kepada peserta didik oleh kolegium bentukan Kemenkes.

Fatima mengklarifikasi bahwa biaya uji kompetensi sebesar Rp 12,5 juta telah diberlakukan sejak tahun 2019. Dana tersebut digunakan untuk pengadaan alat penunjang praktik, pembayaran penguji dan tempat, panitia, serta IT. Biaya ini telah disesuaikan dari waktu ke waktu, dengan sebelumnya dipatok Rp 7,5 juta per kandidat sebelum tahun 2013, kemudian menjadi Rp 10 juta pada tahun 2014.

"Selama kepengurusan saya (2021-2024), setiap kali kita melaksanakan uji kompetensi empat kali setahun, selalu ditarik biaya Rp 12,5 juta per kandidat," tegas Fatima. "Jadi, jika Dokter Piprim menyatakan dulu itu gratis, itu tidak benar."