Kisah Para Pejuang Kopi Keliling: Mengais Rezeki di Tengah Hiruk Pikuk Ibu Kota

Di sudut Jakarta Pusat, tepatnya di kawasan Kwitang, denyut kehidupan puluhan pedagang kopi keliling (Starling) terus berdetak. Di antara gang-gang sempit Jalan Parapatan Baru, mereka berjuang setiap hari demi sesuap nasi, dengan penghasilan yang seringkali tak menentu.

Wisnu, bukan nama sebenarnya, seorang pria asal Madura, telah menjadi bagian dari komunitas Kampung Starling sejak tahun 2017. Baginya, Jakarta adalah medan pertempuran untuk mencari rezeki. "Penghasilan saya paling sedikit seratus ribu, kadang bisa sampai tiga ratus ribu. Biasanya saya mulai jualan dari jam tiga sore sampai malam, tapi jamnya tidak tentu," ungkap Wisnu.

Setiap pagi buta, para pedagang kopi keliling ini mulai mempersiapkan dagangan mereka. Dengan sepeda yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, mereka menjelajahi sudut-sudut kota, dari kawasan sibuk Tanah Abang hingga gemerlap Sudirman. Sepeda-sepeda itu adalah modal utama mereka, ada yang baru, ada pula yang sudah usang.

Wisnu tak begitu memusingkan soal legalitas tempat tinggal mereka di Kampung Starling. Baginya, yang terpenting adalah ia dan rekan-rekannya masih bisa berjualan. Ia tinggal di kontrakan sederhana dengan biaya sewa tiga ratus ribu rupiah per bulan. Di tempat itu, ia membangun kehidupan bersama keluarganya.

"Di sini nyaman, dan selama saya tinggal tidak pernah mengalami kesulitan seperti banjir, walau kami tinggal di pinggir Kali Ciliwung," imbuhnya.

Kisah serupa juga datang dari Reza, yang telah berjualan kopi keliling sejak tahun 2015. Baginya, bertahan hidup di Jakarta membutuhkan perjuangan ekstra. "Kalau lagi sepi, penghasilan cuma cukup buat makan sehari. Paling sedikit seratus ribu per hari. Yang paling mengganggu jualan biasanya hujan," tuturnya.

Reza menjelaskan bahwa para pedagang telah membagi wilayah jualan mereka agar tidak saling tumpang tindih. Jam operasional mereka pun berbeda-beda, ada yang mulai pagi hingga sore, ada pula yang berjualan dari sore hingga dini hari. "Kalau saya biasanya berangkat sore dan pulang jam tiga subuh. Area jualan kami menyebar ke seluruh Jakarta," jelas Reza.

Bagi Novi, yang telah menjadi warga Kampung Starling sejak tahun 2010, pemukiman ini adalah tempat berlindung bagi para perantau yang mencari nafkah di ibu kota. Banyak di antara mereka yang membawa serta keluarga dan anak-anak dari kampung halaman.

"Banyak yang bangun rumah semi permanen di sini. Rumah-rumah itu kadang memang hanya untuk tidur saja, karena mereka lebih banyak waktu di jalan berjualan," kata Novi.

Alasan utama mereka merantau ke Jakarta adalah untuk mencari nafkah dan kesempatan hidup yang lebih baik. "Kebanyakan warga sini datang dari daerah karena ingin mencari pekerjaan dan penghasilan. Meskipun hidupnya pas-pasan, di sini kami bisa bertahan dan berusaha," ujarnya.

Novi juga tak mengetahui pasti siapa yang pertama kali membangun pemukiman ini. Namun, ia meyakini bahwa Kampung Starling bermula dari kedatangan warga Madura pada awal tahun 2000-an. Mereka membangun tempat tinggal semi permanen, dan lama kelamaan semakin banyak orang yang datang.

Saat ini, diperkirakan lebih dari 500 orang tinggal berdempetan di pemukiman sepanjang 350 meter dan lebar sekitar 3 meter. Fasilitas yang tersedia pun sangat terbatas, hanya ada dua kamar mandi umum yang sangat sederhana.

Kisah para pedagang kopi keliling di Kampung Starling adalah potret perjuangan hidup di tengah kerasnya ibu kota. Mereka adalah para pejuang yang tak kenal lelah, terus mengais rezeki demi masa depan yang lebih baik.