Ketua MA Soroti Dampak Psikologis Pelanggaran Etik bagi Hakim: Hidup Tak Tenang Dibayangi Kecemasan
Mahkamah Agung (MA) terus berupaya menegakkan integritas di lingkungan peradilan. Ketua MA, Sunarto, dalam sebuah forum pembinaan yang dihadiri oleh para pimpinan pengadilan dan hakim se-Jakarta, menyoroti konsekuensi berat yang harus ditanggung oleh hakim yang terbukti melanggar kode etik. Konsekuensi tersebut tidak hanya berupa sanksi administratif atau hukum, tetapi juga dampak psikologis yang signifikan terhadap kehidupan pribadi hakim tersebut.
Sunarto menggambarkan bagaimana seorang hakim yang telah melanggar kode etik akan terus dihantui rasa tidak tenang dan kecemasan. Bahkan hal-hal sederhana seperti melihat mobil Kijang melintas pun dapat memicu paranoia, karena hakim tersebut akan langsung berasumsi bahwa itu adalah mobil dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang melakukan penyelidikan terhadap dirinya. Kecemasan ini, menurut Sunarto, akan terus menghantui para hakim yang nakal.
"Kalau Bapak Ibu sekalian meninggalkan kode etik, hidupnya tidak akan tenang. Ada polisi lewat, ada jaksa lewat, ada mobil lewat, mobil Kijang, 'Oh KPK mau datang.' Enggak tenang,” ujar Sunarto di Gedung MA, Jakarta, Jumat (23/5/2025).
Selain itu, Sunarto juga menyinggung tentang kemajuan teknologi yang kini memungkinkan aparat penegak hukum untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat. Ia secara khusus menyoroti kemampuan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam melakukan penyadapan dan intersepsi data elektronik. Dengan anggaran yang besar, Kejagung memiliki teknologi canggih yang memungkinkan mereka untuk menyadap perangkat komunikasi dan mengumpulkan bukti-bukti yang relevan dengan suatu perkara.
"Main HP juga menjadi enggak tenang. Karena HP kita disadap, diintersep,” tambahnya.
Menurut Sunarto, Kejaksaan Negeri (Kejari) bahkan sudah memiliki teknologi tersebut. Kecanggihan alat itu, kata dia, bisa menyalin data dalam ponsel pintar dalam waktu singkat.
“Ngambil data Bapak Ibu sekalian gampang. Alat diarahkan, seluruh isi konten HP Bapak Ibu sekalian, pindah dalam waktu yang singkat. Ditaruh di tas, pindah,” ujar Sunarto.
Sunarto menekankan bahwa kemajuan teknologi ini membuat hakim tidak lagi leluasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar norma. Namun, ia juga menegaskan bahwa selama hakim tetap berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) yang berlaku, maka pengawasan dari penegak hukum seharusnya tidak menjadi masalah. Pengawasan ini justru menjadi alat kontrol dalam menegakkan integritas hakim dan keadilan.
Sunarto menambahkan, masalah akan timbul ketika hakim mulai terlibat dalam praktik-praktik yang menyimpang, seperti negosiasi perkara atau menerima suap. Tindakan-tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum dan etika, tetapi juga akan membuat hidup hakim tersebut menjadi tidak tenang dan selalu dihantui oleh rasa takut akan terungkapnya perbuatan tersebut.
"Tapi begitu chatting masalah perkara, deal-deal-an, hidup saudara menjadi tidak tenang,” tutur Sunarto.
Dengan pernyataan ini, Ketua MA ingin memberikan pesan yang jelas dan tegas kepada seluruh hakim di Indonesia bahwa integritas adalah hal yang mutlak dan tidak dapat ditawar. Hakim yang melanggar kode etik tidak hanya akan menghadapi sanksi hukum, tetapi juga harus menanggung beban psikologis yang berat sepanjang hidupnya.