Skandal Korupsi Sritex: Dana Pinjaman Rp 692 Miliar Diduga Diselewengkan untuk Pembelian Aset

Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mendalami dugaan korupsi yang melibatkan petinggi PT Sritex terkait penyalahgunaan dana pinjaman dari dua bank BUMN. Iwan Setiawan Lukminto, Komisaris Utama PT Sritex, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Dana pinjaman senilai total Rp 692 miliar yang seharusnya digunakan sebagai modal kerja perusahaan, diduga kuat diselewengkan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset tanah di beberapa daerah.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Iwan Setiawan menerima kucuran dana dari Bank BJB sebesar Rp 543 miliar dan Bank DKI sebesar Rp 149 miliar. Ironisnya, dana yang seharusnya menjadi stimulus bagi Sritex yang tengah mengalami kesulitan keuangan, justru dialihkan untuk membayar utang dan mengakuisisi aset-aset yang tidak produktif. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan awal pemberian kredit.

Penyidikan Mendalam dan Penggeledahan

Tim penyidik Kejagung terus bergerak cepat untuk menelusuri aliran dana korupsi yang melibatkan Iwan Setiawan. Fokus utama saat ini adalah mengidentifikasi dan melacak aset-aset yang dibeli menggunakan dana pinjaman tersebut. Beberapa lokasi yang menjadi perhatian adalah Yogyakarta dan Solo, di mana diduga terdapat pembelian tanah yang signifikan.

Selain Iwan Setiawan, Kejagung juga menetapkan dua tersangka lain dalam kasus ini, yaitu Zainuddin Mappa, yang menjabat sebagai Direktur Utama Bank DKI pada tahun 2020, dan Dicky Syahbandinata, mantan pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB. Keduanya diduga terlibat dalam proses pencairan kredit yang bermasalah.

Sebagai bagian dari upaya pengumpulan bukti, penyidik telah melakukan penggeledahan di kediaman ketiga tersangka. Penggeledahan dilakukan di beberapa lokasi, termasuk apartemen di Jakarta Utara, rumah tersangka di Solo, Bandung, Bangu, dan Kota Makassar. Dari penggeledahan tersebut, penyidik berhasil menyita sejumlah barang bukti elektronik, seperti laptop dan iPad, serta berbagai dokumen penting yang diyakini dapat mengungkap lebih jauh praktik korupsi yang terjadi.

Kronologi dan Kerugian Negara

Kasus ini bermula ketika Sritex menerima pinjaman dari sejumlah bank, termasuk bank BUMN dan bank pemerintah daerah. Namun, dalam perjalanannya, pelunasan kredit mengalami kendala, hingga pada Oktober 2024, total tagihan yang belum dilunasi mencapai lebih dari Rp 3,5 triliun.

Kejanggalan mulai terendus ketika penyidik Kejagung menemukan adanya indikasi prosedur melawan hukum dalam pemberian kredit oleh Bank BJB dan Bank DKI kepada Sritex. Diduga, analisis yang tidak memadai dan pengabaian terhadap prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan menjadi penyebab utama terjadinya penyimpangan.

Tindakan pemberian kredit yang tidak sesuai prosedur ini berdampak signifikan pada keuangan negara. Berdasarkan perhitungan sementara, kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 692.980.592.188 dari total nilai outstanding atau tagihan yang belum dilunasi sebesar Rp 3.588.650.880.028,57.