Kurir Paket Merespons Pembatasan Gratis Ongkir: Ancaman Pendapatan di Tengah Beban Kerja yang Meningkat

Dilema Kurir Paket: Kebijakan Pembatasan Gratis Ongkir dan Implikasinya

Wacana pembatasan fitur gratis ongkos kirim (ongkir) pada platform e-commerce oleh pemerintah, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Permen Komdigi) Nomor 8 Tahun 2025, menuai respons beragam dari berbagai pihak, terutama di kalangan kurir paket. Kebijakan yang bertujuan untuk menekan praktik promo gratis ongkir yang dianggap merugikan penyedia jasa layanan pos ini, justru memunculkan kekhawatiran di kalangan pekerja lapangan yang menggantungkan hidupnya pada volume pengiriman paket.

Keresahan ini mencerminkan dilema yang dihadapi para kurir, terutama mereka yang berstatus mitra. Aqil, seorang kurir di Jakarta Timur, mengungkapkan kegelisahannya atas potensi penurunan jumlah pengiriman. Ia khawatir, pembatasan gratis ongkir akan membuat konsumen enggan berbelanja online, sehingga berimbas pada berkurangnya orderan. Status kemitraan yang disandangnya pun menjadi sumber ketidakpastian, karena prioritas pengiriman seringkali diberikan kepada kurir yang berstatus karyawan tetap.

Penghasilan yang Minim, Tanggung Jawab yang Besar

Kondisi ini diperparah dengan sistem upah yang dianggap tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab yang diemban. Aqil menyebutkan bahwa ia hanya menerima Rp 2.000 per paket yang berhasil diantarkan. Namun, di balik upah yang minim tersebut, terdapat risiko kerugian yang harus ditanggung jika terjadi kehilangan atau kerusakan barang. Ia mencontohkan pengalamannya dan rekan-rekannya yang pernah harus mengganti kerugian hingga jutaan rupiah akibat insiden yang tak terduga.

"Pernah saya harus mengganti Rp 150.000 untuk barang kecil yang hilang. Tapi teman saya ada yang sampai harus ganti Rp 2 juta karena kehilangan handphone," ungkap Aqil menggambarkan beratnya risiko yang harus ditanggung.

Perjuangan Kurir Mitra: Antara Bertahan dan Realitas Ekonomi

Kisah serupa juga dialami oleh Saleh, kurir lain di Jakarta Timur, yang telah merasakan perubahan status dari karyawan tetap menjadi mitra. Meski kehilangan berbagai fasilitas dan tunjangan, ia memilih untuk tetap bertahan demi keluarga dan kecintaannya pada pekerjaan di lapangan. Saleh mengakui bahwa pendapatannya kini sepenuhnya bergantung pada jumlah paket yang berhasil dikirim, dengan upah Rp 1.800 per paket.

"Kalau karyawan tetap ada gaji tetap, dapat BPJS, kalau mitra hitungnya per paket itu Rp 1.800," jelasnya.

Harapan di Tengah Ketidakpastian

Di tengah berbagai tantangan tersebut, secercah harapan muncul ketika perusahaan tempat Saleh bekerja mulai mendaftarkan para kurir mitra ke dalam program BPJS. Langkah ini setidaknya memberikan jaminan sosial yang lebih baik bagi para pekerja lapangan yang selama ini rentan terhadap risiko kecelakaan kerja dan masalah kesehatan.

Namun, kebijakan pembatasan gratis ongkir tetap menjadi momok bagi para kurir. Mereka berharap pemerintah dan platform e-commerce dapat mempertimbangkan dampaknya secara lebih mendalam, serta mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat dalam ekosistem pengiriman paket.

Kurir paket adalah garda terdepan dalam perekonomian digital. Nasib mereka tidak bisa diabaikan begitu saja, karena kesejahteraan mereka akan berdampak langsung pada kualitas layanan dan pertumbuhan sektor e-commerce secara keseluruhan.

Berikut adalah poin yang menjadi perhatian:

  • Pembatasan Gratis Ongkir: Kebijakan ini memicu kekhawatiran di kalangan kurir paket.
  • Status Kemitraan: Kurir mitra merasa kurang diuntungkan dibandingkan kurir tetap.
  • Upah dan Tanggung Jawab: Upah per paket dianggap tidak sebanding dengan risiko dan tanggung jawab.
  • Jaminan Sosial: Pendaftaran BPJS menjadi angin segar bagi kurir mitra.
  • Dampak Kebijakan: Kurir berharap ada solusi adil bagi semua pihak.