Tantangan Fisik dan Mental: Ariel Noah Menuntaskan Tokyo Marathon Meski Kurang Tidur; Pakar Olahraga Beri Pandangan

Tantangan Fisik dan Mental: Ariel Noah Menuntaskan Tokyo Marathon Meski Kurang Tidur; Pakar Olahraga Beri Pandangan

Keikutsertaan musisi kenamaan Ariel Noah dalam Tokyo Marathon 2025 dan keberhasilannya menyelesaikan perlombaan selama 6,5 jam telah menarik perhatian publik. Penampilannya ini semakin menarik karena diiringi pengakuannya tentang kurang tidur menjelang perlombaan, mengantarkan pertanyaan penting: seberapa penting istirahat bagi pelari maraton, dan bolehkah seseorang tetap berpartisipasi meskipun kondisi fisiknya kurang optimal?

Partisipasi Ariel Noah dalam World Marathon Major ini menjadi debutnya dalam ajang bergengsi tersebut. Pengalaman pertamanya ini, seperti diungkapkan melalui akun Instagram pribadinya, diwarnai tantangan tersendiri, terutama terkait kurangnya waktu istirahat. Hal ini memicu perdebatan dan diskusi mengenai keseimbangan antara persiapan fisik dan mental dalam menghadapi maraton.

Adewan Putra, pelatih lari dan pembinaan jasmani, memberikan perspektif yang lebih luas terkait hal ini. Menurut Adewan, rasa gugup dan kesulitan tidur sebelum perlombaan adalah hal yang wajar, terutama bagi pelari pemula. “Kegelisahan menjelang race pertama kali adalah reaksi alami. Hampir semua pelari mengalaminya, bukan hanya mereka yang baru pertama kali ikut serta,” jelasnya saat diwawancarai di Stadion Atletik Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat (7/3/2025).

Namun, Adewan menekankan perbedaan penting antara pelari yang baru memulai dan pelari yang sudah terlatih. Bagi mereka yang memiliki kondisi fisik prima dan telah menjalani pelatihan intensif secara konsisten, partisipasi dalam maraton tetap dapat dipertimbangkan meskipun kurang tidur. “Bagi pelari yang sudah terbiasa berlatih intensif dan bangun pagi, kurangnya tidur bukanlah penghalang. Latihan yang konsisten bertujuan agar tubuh beradaptasi dengan berbagai kondisi,” tambahnya.

Meskipun demikian, peringatan penting tetap perlu disampaikan. Adewan menyarankan agar para pelari selalu memprioritaskan pemahaman terhadap kondisi tubuh masing-masing dan menghindari paksaan yang berlebihan. “Jangan sampai ego mengalahkan kewaspadaan terhadap sinyal-sinyal yang diberikan tubuh. Kemampuan tubuh untuk berlari adalah hal utama yang harus dipertimbangkan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Adewan menjelaskan bahwa menghentikan perlombaan di tengah jalan bukanlah sesuatu yang memalukan. Keputusan tersebut justru menunjukkan kebijaksanaan dalam memprioritaskan keselamatan dan mencegah cedera. “Jika di tengah lomba merasa tidak mampu melanjutkan, berhenti adalah pilihan bijak. Lebih baik mencegah cedera dan risiko lainnya daripada memaksakan diri,” tambahnya. Ia menyimpulkan, “Intinya, keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan perlombaan harus didasarkan pada kondisi tubuh dan pertimbangan yang rasional, bukan semata-mata ambisi untuk menyelesaikan lomba.”

Kesimpulannya, partisipasi dalam maraton memerlukan keseimbangan antara persiapan fisik yang optimal dan pemahaman diri yang mendalam. Meskipun kurang tidur dapat diatasi oleh pelari yang terlatih, prioritas utama tetaplah keselamatan dan kesehatan pelari itu sendiri. Keberhasilan Ariel Noah menyelesaikan Tokyo Marathon sekaligus menjadi pengingat penting akan hal tersebut.