Praktik Pungutan Ganda di Bandara: Indikasi Premanisme yang Merugikan Penumpang
Fenomena tarif transportasi online yang melonjak drastis di bandara, khususnya Soekarno-Hatta (Soetta), memicu sorotan tajam terhadap dugaan praktik pungutan ganda yang merugikan penumpang.
Seorang pengguna jasa transportasi online mengungkapkan keheranannya mendapati selisih tarif yang signifikan antara perjalanan dari Bogor ke Soetta dan sebaliknya. Perbedaan harga yang mencapai ratusan ribu rupiah ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan keadilan tarif.
Investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa pengemudi taksi online yang beroperasi di bandara dikenakan berbagai biaya tambahan oleh operator taksi dan aplikator. Biaya-biaya ini, yang meliputi izin masuk bandara dan biaya sewa sarana, dibebankan kepada penumpang melalui tarif yang lebih tinggi.
Selain itu, terdapat laporan mengenai razia yang dilakukan oleh pihak PT Angkasa Pura terhadap taksi online yang tidak memiliki stiker resmi. Taksi-taksi ini dilarang masuk dan mengambil penumpang di area bandara. Penumpang yang ingin menggunakan taksi online saat keluar dari bandara juga diwajibkan memesan melalui pos layanan resmi dengan tarif yang telah ditentukan, termasuk biaya administrasi tambahan.
Praktik serupa juga terjadi di bandara lain, seperti Adi Sumarmo di Solo, di mana petugas keamanan bandara dilaporkan menangkap dan menghukum pengemudi taksi online yang mengambil penumpang tanpa izin. Pengelola bandara hanya mengizinkan taksi koperasi angkatan udara untuk beroperasi.
Di Bandara Halim Perdanakusuma, penumpang yang ingin menggunakan taksi harus memilih perusahaan taksi yang telah bekerja sama dengan pengelola bandara dan membayar biaya kemitraan. Bahkan, perusahaan bus kota juga dikenakan biaya sewa sarana yang mahal, yang kemudian dibebankan kepada penumpang melalui harga tiket.
Praktik pungutan ganda ini, di mana penumpang harus membayar biaya tambahan untuk penggunaan fasilitas bandara yang seharusnya sudah termasuk dalam harga tiket pesawat, dinilai sebagai bentuk premanisme terselubung. Penumpang seolah dipaksa untuk membayar dua kali atas layanan yang sama.
Padahal, maskapai penerbangan telah membayar biaya jasa sarana bandara yang digunakan oleh konsumennya. Sebagai timbal balik, bandara seharusnya memberikan akses layanan yang memadai kepada penumpang, termasuk kemudahan mendapatkan transportasi yang aman dan nyaman.
Adanya pungutan ganda ini jelas melanggar hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, yang menjamin hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa.
Praktik premanisme di bandara ini tidak hanya merugikan penumpang secara finansial, tetapi juga mencoreng citra pelayanan publik di sektor transportasi udara. Oleh karena itu, diperlukan tindakan tegas untuk memberantas praktik ini dan memastikan bahwa penumpang mendapatkan layanan yang adil dan transparan.
Pengelola bandara perlu mengkaji ulang sistem pembiayaan operasional mereka dan mencari alternatif pendanaan yang tidak memberatkan penumpang. Salah satu solusinya adalah dengan memaksimalkan pendapatan dari biaya sewa kawasan komersial dan kerja sama dengan maskapai penerbangan.
Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati tarif penerbangan dan transportasi yang lebih terjangkau, serta merasakan kenyamanan dan keamanan saat menggunakan jasa bandara.