Jeritan Para Ujung Tombak E-Commerce: Dilema Upah Rendah dan Beban Kerja Kurir Paket
Realita Pahit di Balik Gemerlap Belanja Online: Kisah Para Kurir Paket
Pesatnya pertumbuhan e-commerce telah melahirkan kebutuhan krusial akan jasa pengiriman barang. Di balik kemudahan berbelanja online yang dinikmati konsumen, terdapat para kurir paket yang menjadi garda terdepan dalam memastikan barang sampai tujuan. Namun, seringkali, realita yang mereka hadapi jauh dari ideal.
Kisah Riskana, seorang kurir berusia 42 tahun di Jakarta Selatan, adalah contoh nyata. Dengan usia yang tak lagi muda, ia harus berjuang setiap hari demi menghidupi diri dan keluarganya. Upah yang diterima dihitung per paket, tanpa adanya jaminan gaji tetap. Riskana mengungkapkan bahwa ia menerima Rp 1.800 untuk setiap paket yang berhasil diantar. Jika paket memiliki berat lebih dari tiga kilogram, tarifnya meningkat menjadi Rp 5.500, namun dibayarkan secara bulanan. Dengan mengirim sekitar 2.000 paket sebulan, Riskana bisa mendapatkan sekitar Rp 3,6 juta. Penghasilan bisa mencapai Rp 5 juta lebih jika ada banyak paket berat.
Beban finansial kurir tidak berhenti di situ. Mereka juga diwajibkan membayar deposit sebagai jaminan. Riskana harus menyisihkan 10 persen dari penghasilannya setiap bulan untuk deposit yang baru akan dikembalikan tiga bulan setelah berhenti bekerja. Artinya, sebagian dari penghasilan yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari harus ditahan sebagai jaminan.
Kondisi serupa dialami Aqil, seorang kurir berusia 24 tahun di Jakarta Timur. Berstatus sebagai mitra perusahaan ekspedisi, ia tidak menerima gaji pokok dan hanya dibayar berdasarkan jumlah paket yang dikirim. Dengan tarif Rp 2.000 per paket, penghasilan hariannya sangat bergantung pada jumlah paket yang berhasil diantar. Status kemitraan ini juga menempatkan mereka pada posisi yang lebih rentan. Paket seringkali diprioritaskan untuk kurir yang berstatus karyawan tetap.
Lebih dari Sekadar Mengantar Paket: Risiko dan Ketidakpastian
Pekerjaan sebagai kurir paket bukan hanya tentang mengantar barang dari satu tempat ke tempat lain. Ada risiko dan tekanan yang harus dihadapi setiap hari. Salah satunya adalah risiko kehilangan paket. Aqil pernah harus mengganti rugi Rp 150.000 karena kehilangan paket. Bahkan, ada temannya yang harus mengganti hingga Rp 2 juta karena kehilangan handphone.
Selain itu, para kurir juga merasa khawatir dengan kebijakan pemerintah yang membatasi program gratis ongkos kirim (ongkir) pada platform e-commerce. Kebijakan ini dikhawatirkan akan menurunkan jumlah transaksi, yang berdampak pada jumlah paket yang harus dikirim. Jika jumlah paket berkurang, para kurir mitra seperti Aqil berpotensi kehilangan pekerjaan.
Saleh, seorang kurir di Jakarta Timur yang telah bekerja selama tujuh tahun, juga merasakan dampak perubahan status dari karyawan tetap menjadi mitra. Dulu, ia mendapatkan gaji pokok dan jaminan BPJS. Sekarang, ia hanya dibayar per paket. Saleh juga khawatir dengan dampak pembatasan gratis ongkir terhadap volume pengiriman.
Harapan Akan Perbaikan Sistem
Kisah para kurir paket ini menggambarkan realita yang keras tentang penghasilan minim, beban kerja tinggi, risiko kerugian pribadi, dan ketidakpastian yang terus membayangi. Mereka bekerja dalam sistem yang menuntut produktivitas tinggi, tetapi tidak selalu memberikan perlindungan yang layak. Di tengah peran vital mereka dalam mendukung ekonomi digital, para kurir berharap ada perhatian lebih dari perusahaan ekspedisi maupun pemerintah untuk memberikan jaminan kerja yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Para kurir ini adalah pahlawan tanpa tanda jasa di era digital. Mereka adalah tulang punggung yang memungkinkan roda e-commerce terus berputar. Sudah saatnya kita memberikan apresiasi dan perhatian yang lebih besar kepada mereka, memastikan bahwa mereka mendapatkan hak-haknya dan diperlakukan dengan adil.