Perjuangan Aqil, Kurir Paket di Jakarta Timur: Bertahan Hidup dengan Upah Rp 2.000 per Kiriman

Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, seorang pemuda bernama Aqil (24) berjuang keras mencari nafkah sebagai kurir paket di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur. Dengan upah yang minim, Rp 2.000 per paket, Aqil berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan keluarganya. Kisahnya adalah cerminan realitas pahit yang dihadapi banyak pekerja informal di sektor logistik.

Sebelum menjadi kurir paket, Aqil sempat mencoba peruntungan sebagai pengemudi ojek online. Namun, ia merasa pekerjaan tersebut kurang ideal karena jarak tempuh yang jauh dari rumah dan waktu tunggu orderan yang tidak menentu. Sebagai seorang ayah dengan anak kecil, Aqil membutuhkan pekerjaan yang lebih stabil dan dekat dengan keluarga.

"Dulu saya ojol, tapi jaraknya jauh dari rumah, sementara saya punya anak kecil. Nunggu orderan juga lama. Kalau jadi kurir, jaraknya enggak terlalu jauh dan kerjanya juga lebih rutin," ungkap Aqil.

Status Aqil sebagai kurir adalah mitra perusahaan logistik, bukan karyawan tetap. Hal ini berarti ia tidak menerima gaji pokok, melainkan hanya upah berdasarkan jumlah paket yang berhasil diantar. Sistem ini memberikan tantangan tersendiri bagi Aqil, karena penghasilannya sangat bergantung pada jumlah kiriman yang ia dapatkan.

"Saya ini statusnya mitra, jadi sistemnya dihitung per paket, enggak ada gaji pokok, satu paket cuma Rp 2.000," jelasnya.

Persaingan untuk mendapatkan paket juga menjadi kendala bagi Aqil. Kurir dengan status karyawan tetap atau dedicated diprioritaskan untuk mengambil paket terlebih dahulu. Aqil dan kurir mitra lainnya harus menunggu sisa paket yang tidak diambil oleh karyawan tetap.

"Kalau karyawan atau kurir dedicated, mereka yang ambil semua paket dulu. Kita nunggu sisaan aja dari karyawan mengambil, baru kita (kurir mitra)," tutur Aqil.

Rata-rata, Aqil mengantarkan 70-100 paket setiap hari. Namun, jumlah paket yang diterima setiap kurir tidak selalu sama. Ada kurir yang mendapatkan banyak paket, ada pula yang hanya sedikit, bahkan tidak kebagian sama sekali.

"Enggak semua kurir bisa dapat banyak. Ada juga yang cuma dapat sedikit, bahkan tidak kebagian, karena diutamakan untuk karyawan tetap," kata Aqil.

Selain pendapatan yang tidak menentu, Aqil juga harus menanggung risiko jika ada paket yang hilang. Ganti rugi yang harus dibayarkan seringkali lebih besar dari penghasilan hariannya.

"Pernah saya harus mengganti Rp 150.000 untuk barang kecil yang hilang. Tapi teman saya ada yang sampai harus ganti Rp 2 juta karena kehilangan handphone," ujarnya.

Meski berat, Aqil selalu berusaha bertanggung jawab jika ada paket yang hilang saat pengantaran. Ia menyadari bahwa kehilangan paket adalah hal yang tidak diinginkan, namun terkadang sulit dihindari karena banyaknya barang yang harus dibawa.

"Kadang bisa hilang di jalan, soalnya bawaan banyak di motor," ujarnya.

Kisah Aqil adalah potret perjuangan seorang pekerja informal di tengah kerasnya kehidupan kota. Dengan upah yang minim dan risiko yang besar, ia tetap bersemangat mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Kegigihan Aqil patut diapresiasi dan menjadi inspirasi bagi kita semua.