Nobel dan Lailatul Qadar: Perbandingan Dua Bentuk Pencapaian Kemanusiaan
Nobel dan Lailatul Qadar: Perbandingan Dua Bentuk Pencapaian Kemanusiaan
Sejak tahun 1901 hingga 2024, tercatat lima belas penerima Hadiah Nobel yang tumbuh dalam lingkungan tradisi Islam. Distribusi kemenangan ini menunjukkan keunggulan di bidang Perdamaian (delapan pemenang), diikuti Sains (empat pemenang), dan Sastra (tiga pemenang). Para pemenang ini berasal dari sebelas negara, termasuk Amerika Serikat dan Perancis. Menariknya, di antara empat pemenang Nobel Sains, belum ada satupun yang berasal dari kategori Fisiologi/Kedokteran atau Ekonomi. Hadiah Nobel, sebagai wasiat Alfred Nobel, bertujuan mulia untuk kemanusiaan; sebuah tujuan yang, secara filosofis, memiliki kesamaan dengan pencarian Lailatul Qadar selama bulan Ramadan.
Profesor Quraish Shihab mendefinisikan Lailatul Qadar melalui tiga makna utama: pertama, kemuliaan malam tersebut sebagai malam diturunkannya Al-Quran; kedua, kesempitan malam tersebut karena dipenuhi oleh para malaikat; dan ketiga, malam penetapan kebaikan yang dampaknya luas, baik berupa wahyu ilahi maupun penetapan takdir individual. Individu yang meraih Lailatul Qadar akan terdorong untuk senantiasa berbuat baik dan mengalami transformasi positif dalam kehidupannya. Analogi ini dapat dihubungkan dengan penerima Hadiah Nobel, yang karya-karyanya telah memberikan dampak signifikan pada masyarakat dunia, mencerminkan transformasi positif yang serupa dengan tanda-tanda orang yang mendapatkan Lailatul Qadar.
Namun, Hadiah Nobel juga bukannya tanpa cela. Beberapa pemenangnya terlilit kontroversi, sementara beberapa kandidat yang layak justru belum pernah terpilih. Lebih jauh, Hadiah Nobel dapat dipandang sebagai bentuk hegemoni Barat, dengan kriteria yang mungkin tidak sepenuhnya netral atau bebas nilai. Terutama di bidang Sains, keberhasilan meraih Nobel seringkali dikaitkan dengan ekosistem riset dan keilmuan yang matang dan suportif, suatu kondisi yang tidak merata di seluruh dunia. Dalam dekade terakhir, Nobel Perdamaian kerap diberikan kepada aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak, isu-isu yang dianggap penting oleh Barat, sementara pencapaian serupa di dunia Islam terkadang kurang mendapat pengakuan internasional.
Contohnya, Malala Yousafzai, penerima Nobel termuda, telah melalui proses persiapan selama lima tahun sebelum meraih penghargaan tersebut, menunjukkan bahwa kesiapan (readiness) jauh lebih penting daripada ambisi semata (pursuit). Berbeda dengan Hadiah Nobel, Lailatul Qadar, sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan, diyakini sebagai malam bonus dan janji Allah SWT kepada hamba-Nya yang saleh (abrar) dan lebih lagi kepada mereka yang lebih dekat kepada-Nya (muqarrabin). Abrar adalah mereka yang beramal saleh karena mengharapkan pahala dari Allah, sedangkan muqarrabin adalah mereka yang menghidupkan malam dengan kesadaran dan konsentrasi tinggi, bukan sekadar mengejar Lailatul Qadar, melainkan karena kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW.
Lailatul Qadar menekankan pentingnya iradah (kehendak) dan Sunnatullah (hukum Allah). Banyak individu yang terjerat dosa, berulang kali berjanji untuk berubah namun gagal. Namun, jika seseorang memiliki iradah untuk bertaubat, dan Sunnatullah mengizinkan, maka ia dapat meraih Lailatul Qadar, dosa-dosanya diampuni, dan pahalanya dilipatgandakan. Demikian pula, para penerima Hadiah Nobel memiliki iradah yang kuat untuk berkontribusi bagi kemanusiaan. Penghargaan Nobel bukan tujuan utama, melainkan bonus atas pengabdian mereka. Mereka terus bekerja tanpa lelah, terlepas dari penghargaan yang mereka terima atau tidak.
Empat pemenang Nobel Sains dari kalangan Muslim – Abdus Salam, Ahmed Zewail, Aziz Sancar, dan Moungi Bawendi – menawarkan perspektif alternatif tentang modernitas, berupa keseimbangan antara nilai-nilai Islam dan modernitas. Pidato-pidato mereka saat menerima Nobel menjadi sumber inspirasi yang berharga. Abdus Salam menekankan inklusivitas, kolaborasi, kecintaan pada sains, rasionalitas, dan spiritualitas, sementara Ahmed Zewail menyatakan kebanggaannya atas identitas ganda sebagai orang Mesir, Timur Tengah, Afrika, Muslim, dan Amerika. Mereka berdua aktif menginspirasi generasi muda di dunia Islam.
Zewail, dalam pidatonya, menyinggung Piramida sebagai simbol kemajuan Mesir dan Dewi Isis pada medali Nobel, menekankan universalitas sains dan kaitannya dengan peradaban. Para pemenang Nobel ini bukan hanya mengkritik Barat, tetapi juga aktif berkontribusi di dunia Islam, menjaga kesinambungan peradaban. Mereka menjadi bukti bahwa Islam dan Barat dapat beriringan, meskipun spiritualitas mungkin melemah. Karya-karya mereka melampaui waktu, layaknya Lailatul Qadar.
Hadiah Nobel memiliki kriteria terukur, dimulai dari iradah untuk berbuat baik, yang dapat terwujud melalui Sunnatullah. Sedangkan Lailatul Qadar membutuhkan iradah dan Sunnatullah, tetapi tidak dapat diukur secara empiris. Pengalaman merasakan Lailatul Qadar bersifat subyektif. Baik penerima Nobel maupun mereka yang meraih Lailatul Qadar dapat digambarkan sebagai al-arif (orang bijaksana) atau insan kamil (manusia sempurna).
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan salah satu negara demokrasi terbesar, Indonesia perlu merenungkan kapan akan meraih Hadiah Nobel. Dengan iradah kolektif, kerja keras, dan doa, semoga Indonesia dapat meraih keberuntungan tersebut. Namun, kesuksesan tersebut hanya dengan izin Allah SWT.